KBK.News, MARTAPURA – Tingginya jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) di Kabupaten Banjar menjadi sorotan serius Pemerintah Daerah. Berdasarkan data per Mei 2025, tercatat sebanyak 12.752 anak di Kabupaten Banjar tidak mengenyam pendidikan formal, angka yang secara langsung mempengaruhi capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah ini.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Selatan menunjukkan, IPM Kabupaten Banjar berada di angka 74,41, masih di bawah rata-rata nasional yang sebesar 75,02. Ironisnya, rata-rata IPM di tingkat Provinsi Kalimantan Selatan justru sudah melampaui target nasional, yaitu 75,19.

Sebagai langkah strategis, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar membentuk Tim Koordinasi Penanganan ATS yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lintas sektor, mulai dari instansi pemerintah, kecamatan, hingga desa. Pembentukan tim ini digelar di Aula Barakat Sekretariat Daerah Kabupaten Banjar, Kamis (26/6/2025), sebagai bagian dari Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam menuntaskan persoalan ATS.

Sekretaris Daerah Kabupaten Banjar, H Mokhamad Hilman, mengungkapkan bahwa data ATS tersebut merupakan hasil dari proses verifikasi dan validasi (verval) peserta didik yang mengalami Drop Out (DO) dari sekolah formal.

“Memang ATS angkanya sangat tinggi, dan itu berpengaruh terhadap Angka Partisipasi Sekolah (APS). Ini salah satu indikator penting dalam capaian IPM kita,” ujarnya.

Hilman juga menyebutkan bahwa Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Kabupaten Banjar hanya mencapai 7,95 tahun, jauh tertinggal dibanding rata-rata provinsi yang sebesar 8,24 tahun, dan lebih rendah lagi dibanding target nasional dalam RPJMN 2024 yang mencanangkan 9,22 tahun.

Dalam paparannya, Hilman menegaskan pentingnya melakukan validasi ulang data ATS karena ditemukan sejumlah anomali, termasuk anak-anak yang sebenarnya masih bersekolah namun tetap tercatat sebagai ATS.

BACA JUGA :  PT Pegadaian Area Banjarmasin Bantu Pencegahan Stunting

“Dari aplikasi Verbal DO, datanya by name by address. Ada tiga kategori ATS berdasarkan aplikasi ini. Kita harus melakukan analisis kembali, karena bisa jadi anak yang masih bersekolah justru masuk kategori tidak sekolah,” jelasnya.

Salah satu penyumbang tertinggi angka ATS berasal dari anak-anak yang menempuh pendidikan di lembaga khusus keagamaan yang tidak masuk dalam sistem Dapodik (Data Pokok Pendidikan) maupun EMIS (Education Management Information System), sehingga secara administratif dianggap tidak bersekolah.

“Ini harus diverifikasi benar-benar agar datanya valid. Saat ini saja dari 12 ribu ATS hanya sekitar 10 ribu yang terdata. Ini jadi fokus utama kita,” tegas Hilman.

Lebih lanjut, Hilman mengatakan bahwa Tim Koordinasi ATS akan menjalin pendekatan dengan lembaga pendidikan non-formal agar mereka masuk dalam sistem Dapodik atau EMIS. Selain itu, penanganan anak putus sekolah karena alasan ekonomi juga akan dilakukan dengan melibatkan SKPD bidang ekonomi dan menggandeng lembaga swasta.

“Pendidikan kesetaraan harus jadi opsi strategis. Kita juga perlu pendekatan ekonomi, supaya anak-anak tidak terpaksa putus sekolah karena alasan biaya,” tambahnya.

Sebagai penutup, Hilman memberi pesan moral kepada seluruh anggota tim agar dalam pelaksanaan tugas tetap berjalan lurus dan berorientasi pada tujuan.

“Pegang teguh Surat Al-Fatihah ayat 6, ‘Shiratal Mustaqim’. Maksudnya, jalani tugas di jalan yang lurus, jangan belok ke sana-sini hingga melenceng dari tujuan. Kalau tidak, upaya kita tidak akan tepat sasaran,” pungkasnya.