Hijrah, Kesunyian Mayoritas, dan Seruan Kebangkitan Umat Islam
KBK.News, BANJARMASIN – Bulan Muharram kembali hadir dalam senyap. Tak ada pesta kembang api, tanpa hitung mundur.
Namun di balik kesunyian itu, sejatinya ada pesan besar yang seharusnya menggugah: Hijrah Nabi Muhammad SAW, momen transformatif dalam sejarah Islam yang lebih dari sekadar perpindahan tempat, melainkan revolusi diri dan arah peradaban.
Hijrah adalah perjalanan dari keterpurukan menuju kebangkitan. Sebuah langkah sunyi yang mengubah umat tertindas menjadi pemimpin sejarah.
Namun hari ini, umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas justru menghadapi sunyi yang berbeda: sunyi karena suaranya kian tak terdengar.
“Ya Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar, dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar.
Dan anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong.” (QS. Al-Isra: 80)
Doa ini bukan sekadar bacaan, melainkan strategi spiritual sebelum pergerakan sosial.
Tapi ironisnya, hari ini banyak umat hanya melafalkannya tanpa pemahaman. Lebih sibuk memperdebatkan hal-hal kecil seperti posisi tangan saat shalat atau model berpakaian, sementara realita pendidikan, teknologi, dan ekonomi umat masih tertinggal.
Sebagai mayoritas, umat seharusnya punya peran menentukan. Namun justru kerap dibungkam dan dimanipulasi oleh elite kuasa dalam siklus politik lima tahunan.
Suara umat dibeli murah: seratus ribu rupiah, paket sembako, janji palsu yang menguap usai pemilu.
Hijrah seharusnya menjadi momentum reflektif.
Seruan agar umat bangkit, bukan hanya pasif dan menjadi objek politik. Bukan sekadar ganti tahun, tapi ganti cara berpikir.
Sebuah ajakan untuk menjadi mayoritas yang bersuara lantang dalam memperjuangkan pendidikan, keadilan, dan kedaulatan ekonomi.
Doa hijrah adalah titik tolak revolusi diri. Dan revolusi diri itulah yang dapat menghidupkan kembali suara umat—yang selama ini terpinggirkan, dibujuk, bahkan ditaklukkan oleh janji manis demokrasi yang tak menyejahterakan.
Saatnya umat Islam Indonesia sadar akan kekuatannya.
Bukan hanya dari jumlah, tapi dari kualitas perjuangan.
Hijrah bukan hanya soal tempat, tapi keberanian menempuh jalan baru yang lebih adil, mandiri, dan penuh makna. (**)
Penulis: Subhan Syarief | Batang Banyu Institute