KBK.News,PAPUA — Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan zaman, masih ada kelompok masyarakat yang teguh mempertahankan gaya hidup leluhur mereka.

Dilansir salampapua.com, salah satunya adalah suku Bauzi, komunitas adat yang mendiami wilayah hulu Sungai Mamberamo, Papua.

Di sana, berburu buaya bukan hanya aktivitas mencari makanan—melainkan bagian dari warisan budaya yang menyatu dengan kepercayaan dan cara hidup mereka.

Sungai Mamberamo, yang mengalir sepanjang 670 kilometer, bukan hanya menjadi jalur transportasi dan sumber kehidupan, tapi juga menjadi ladang perburuan bagi suku Bauzi.

Di daerah ini, tradisi berburu dan meramu bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan aktivitas sehari-hari yang masih berlangsung hingga kini.

Hidup Bersama Alam

Menurut catatan arkeolog Hari Sroto dalam penelitiannya berjudul Tradisi Berburu Suku Bauzi di Mamberamo Raya, suku Bauzi menganut pola hidup semi-nomaden.

Mereka tinggal dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan marga, membangun rumah sementara yang mudah dibongkar, dan berpindah-pindah tergantung musim serta hasil buruan.

Meski tanah mereka subur dan cocok untuk pertanian, suku Bauzi lebih memilih berburu dibandingkan bertani.

Mereka hanya menanam tanaman yang tidak butuh banyak perawatan seperti pisang dan ubi kayu. Sesekali, mereka juga memelihara anak babi hasil tangkapan liar.

Tradisi Berburu Buaya

Dari berbagai jenis hewan buruan seperti kuskus, rusa, hingga kasuari, buaya menempati tempat khusus dalam budaya Bauzi.

Berburu buaya bukan pekerjaan mudah.

BACA JUGA :  Kisah Menakjubkan Persahabatan Manusia dan Buaya: Dari Penyelamatan jadi Ikatan Abadi

Mereka menggunakan alat tradisional berupa tombak dari kayu nibung dan tali rotan.

Proses perburuannya membutuhkan nyali besar dan keahlian luar biasa.

Para pemburu menyelam ke dasar sungai hanya dengan bermodal insting dan tali.

Mereka hanya menyerang buaya saat matanya tertutup—tanda bahwa reptil itu sedang lengah.

Jika buaya berhasil dilumpuhkan, kulitnya dibawa pulang, dagingnya dijadikan bahan makanan, sementara lemaknya digunakan untuk memasak sagu dan mengobati malaria.

Bagian kepala buaya, terutama tengkoraknya, dipercaya memiliki kekuatan spiritual.

Kepala tersebut biasanya diberikan kepada pemburu yang berhasil menyelam dan menangkap buaya, sebagai bentuk penghormatan sekaligus “warisan kekuatan”.

Menjaga Warisan di Tengah Perubahan

Di tengah ancaman hilangnya budaya-budaya lokal karena globalisasi, suku Bauzi menjadi contoh nyata bagaimana masyarakat adat bisa tetap bertahan dan beradaptasi tanpa kehilangan identitas.

Tradisi mereka bukan hanya soal mempertahankan cara hidup, tapi juga menyangkut cara memandang alam sebagai mitra, bukan sekadar sumber daya.

Pemerintah dan lembaga budaya diharapkan bisa memberikan perhatian lebih pada kelompok-kelompok adat seperti suku Bauzi. Bukan untuk mengubah gaya hidup mereka, melainkan untuk melindungi hak dan wilayah adatnya agar budaya dan kearifan lokal tetap lestari.

“Apa yang bagi sebagian orang dianggap primitif, bagi suku Bauzi adalah kearifan. Mereka hidup berdampingan dengan alam dan tetap menyatu dengan leluhur mereka,” ujar Hari Sroto.

*/