KBK.News, BANJARMASIN– Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi kredit fiktif senilai Rp5,9 miliar di salah satu bank plat merah di Barito Kuala (Batola) memunculkan sorotan tajam terkait praktik penagihan bank terhadap debitur bermasalah.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Banjarmasin baru baru , yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Cahyono Reza Adrianto SH, dihadirkan saksi Reza, auditor internal bank.

Keterangan saksi ini memicu tanggapan tegas dari anggota majelis hakim, Arif Winarno SH.

Reza mengungkapkan, meskipun para terdakwa sudah divonis penjara dan diwajibkan membayar uang pengganti dalam kasus kredit fiktif maupun “topengan”, pihak bank tetap menagih cicilan kepada debitur bermasalah.

“Inilah kami (majelis hakim) seperti hanya dijadikan alat memenjarakan orang. Jangan sampai kami memutus dan memenjarakan, tetapi kalian (pihak bank) masih menagih. Ini mengusik hati nurani saya. Tolong sampaikan ke pimpinan pusat, kalau kerugian sudah dibebankan ke terdakwa, berarti selesai. Ini kontra dengan putusan kami,” tegas Arif di ruang sidang.

Hakim Arif juga menyoroti absennya empat debitur penerima pinjaman yang dinilai mengetahui aliran dana. “Mereka yang tahu uang itu mengalir ke mana. Kok jaksa tidak menghadirkan?” cetusnya.

BACA JUGA :  Ketua APKASINDO Barito Kuala, Diadili karena Halangi Penyidikan Lahan Sawit

Kuasa hukum terdakwa, Nizar Tanjung SH, menilai keterangan saksi JPU belum membuktikan keterlibatan kliennya. Menurutnya, saksi hanya menjelaskan alur administrasi kredit tanpa memaparkan siapa pemohon pinjaman dan ke mana dana disalurkan. “Terdakwa tidak pernah mengajukan pinjaman, tidak menikmati dana, tapi dibebani tanggung jawab kerugian negara,” ujarnya.

Nizar mendukung permintaan hakim agar JPU menghadirkan empat debitur tersebut. Ia bahkan mempertimbangkan langkah hukum balik atas dugaan pencemaran nama baik karena merasa kliennya dikriminalisasi.

Penasihat hukum lainnya, Dr Abdul Hakim SH MH, menegaskan saksi yang dihadirkan tidak relevan untuk menguatkan dakwaan. “Tidak ada keterkaitan langsung antara keterangan saksi dengan pencairan maupun penggunaan dana oleh terdakwa,” katanya.

Kasus ini kembali menimbulkan kekhawatiran soal arah penegakan hukum di sektor perbankan, khususnya ketika penerima manfaat dana tidak tersentuh hukum, sementara pihak lain yang tidak terlibat langsung dijadikan terdakwa.

Sidang akan dilanjutkan dengan agenda pendalaman keterangan saksi lain untuk mengungkap pihak yang paling bertanggung jawab atas kerugian negara ebesar Rp5,9 miliar.