KBK.News, BANJARBARU – Penolakan terhadap rencana penetapan 119.779 hektare Pegunungan Meratus menjadi Taman Nasional menguat. Masyarakat Adat Meratus bersama berbagai organisasi masyarakat sipil di Kalimantan Selatan menyuarakan sikap tegas, Rabu (13/8/2025).

Perwakilan Masyarakat Adat Meratus, Anang Suriani, menegaskan bahwa hutan bukan sekadar lahan, melainkan sumber penghidupan dan identitas budaya.

“Jika wilayah adat kami dijadikan taman nasional, kemana lagi kami akan pergi? Penetapan ini akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal dalam behuma. Bagi kami, hutan adalah sumber kehidupan,” ujarnya.

WALHI Kalimantan Selatan mencurigai adanya kepentingan bisnis ekstraktif di balik kebijakan ini. Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, Raden Rafiq, menilai penetapan taman nasional justru akan memperkuat penyingkiran rakyat dari ruang hidupnya.

“Kami melihat ini membuka jalan untuk tambang dan perkebunan monokultur sawit,” tegasnya.

Senada, AMAN Kalsel menekankan bahwa konservasi ala masyarakat adat telah terbukti menjaga kelestarian Meratus. Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalsel, Rubi, menyerukan pengakuan dan perlindungan konservasi berbasis hukum adat oleh pemerintah.

Dari tingkat nasional, WALHI Nasional menyebut kebijakan ini mencerminkan paradigma usang UU Kehutanan yang menganggap rakyat sebagai ancaman. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, Uli Arta Siagian, mendorong revisi total UU Kehutanan agar berpihak pada hak masyarakat adat.

 

Sementara itu, Muhammad Arman dari AMAN menilai penetapan kawasan hutan secara sepihak adalah bentuk pengingkaran hak masyarakat adat. Ia mendesak DPR dan Presiden segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang telah mangkrak lebih dari 15 tahun.

BACA JUGA :  Walhi Kalsel Soroti Proyek Yang Menguruk Tanah di Sungai Veteran Banjarmasin

 

Dari kalangan akademisi, Netty Herawaty (Pusat Studi HAM ULM) menyoroti pendekatan top-down yang mengabaikan pengetahuan tradisional. Sedangkan Muhammad Ihsan Maulana (Working Group ICCA Indonesia) mengingatkan potensi konflik baru akibat absennya mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam UU KSDAHE yang baru.

 

Seluruh pandangan itu mengemuka dalam Diskusi Publik “Taman Nasional Meratus untuk Siapa?” yang digelar WALHI Kalsel dan AMAN Kalsel bersama akademisi, komunitas adat, dan aktivis lingkungan dalam wadah Aliansi Meratus.

 

Hasil diskusi menghasilkan Resolusi Meratus yang memuat sikap:

 

1. Menolak rencana penetapan Taman Nasional Pegunungan Meratus di wilayah adat Masyarakat Adat Meratus.

2. Mendesak Gubernur dan DPRD Kalsel menarik kembali pengajuan penetapan tersebut.

3. Mendesak Kementerian Kehutanan menghentikan seluruh proses penetapan.

4. Mendesak Pemerintah Provinsi Kalsel mengimplementasikan Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Aliansi Meratus juga mengusulkan kepada Presiden dan DPR untuk

Mengesahkan RUU Masyarakat Adat pada masa sidang 2025.

Melakukan revisi total UU Kehutanan yang sedang dibahas DPR RI.

Mencabut UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Bagi Masyarakat Adat Meratus, hutan bukan sekadar bentang alam hijau, melainkan nadi kehidupan yang tak ternilai. Penetapan taman nasional tanpa persetujuan mereka, diyakini hanya akan meninggalkan jejak luka di tanah leluhur. (Masruni)