UNISKA Gelar Seminar Nasional Pencegahan Kekerasan di Pendidikan Tinggi
KBK.News, BANJARMASIN — Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al-Banjari menggelar Seminar Nasional bertema “Pencegahan Kekerasan pada Pendidikan Tinggi”, Selasa (18/11/2025). Kegiatan berlangsung di Gedung FEKON lantai 5 mulai pukul 08.30 WITA dan menghadirkan akademisi serta pemerintah daerah.
Seminar menghadirkan tiga narasumber:
Prof. Dr. Tri Marhaeni Puji Astuti, M.Hum. (Universitas Negeri Semarang)
Dr. Didi Susanto, S.Sos., M.I.Kom., M.Pd. (Wakil Rektor III UNISKA)
Hj. Ananda, Wakil Wali Kota Banjarmasin
Kegiatan ini menjadi langkah preventif kampus dalam memperkuat pemahaman sivitas akademika mengenai bentuk-bentuk kekerasan baik kekerasan seksual, perundungan, maupun kekerasan berbasis relasi kuasa.
UNISKA menegaskan komitmennya memperkuat sistem perlindungan mahasiswa serta menyediakan edukasi tentang mekanisme pelaporan dan penanganan kasus.
Mewakili pimpinan kampus, Wakil Rektor III UNISKA Dr. Didi Susanto menyampaikan permohonan maaf atas ketidakhadiran Rektor UNISKA karena sedang bertugas di Surabaya.
“UNISKA hingga saat ini belum pernah terjadi kasus kekerasan di lingkungan kampus. Namun seminar ini merupakan langkah preventif agar mahasiswa memahami bentuk-bentuk tindakan kekerasan, baik verbal maupun nonverbal,” ujarnya.
Ia menambahkan, meningkatnya pemberitaan mengenai kekerasan di berbagai perguruan tinggi menjadi pengingat penting bagi semua pihak.
“Kita harus menjaga kampus tetap aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan.
Melalui pemaparan para narasumber hari ini, semoga kita memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif,” tegasnya.
Wakil Wali Kota: ‘Tolong, Jangan Jahat’
Wakil Wali Kota Banjarmasin, Hj. Ananda, menekankan pentingnya empati dalam kehidupan sosial mahasiswa.
“Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di rumah orang lain. Karena itu hal paling sederhana adalah: tolong, jangan jahat kepada siapa pun,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa bentuk kekerasan di kampus semakin beragam dan kompleks. Luka mental, menurutnya, sering kali lebih berat daripada luka fisik.
“Lebih baik sakit gigi daripada sakit hati. Luka mental bisa bertahan lama,” tuturnya.
Pemerintah Kota Banjarmasin, lanjutnya, telah membuka layanan pengaduan YA (Yamin Ananda) untuk membantu korban yang belum siap berbicara atau masih menghadapi tekanan sosial.
Paparan Akademisi: Tiga Akar Kekerasan di Kampus
Prof. Tri Marhaeni memaparkan tiga akar munculnya kekerasan di lingkungan pendidikan tinggi:
Intoleransi antarumat beragama, Tingginya budaya patriarki dan Pandangan misoginis terhadap perempuan.
Ia juga menyinggung beberapa kasus yang menunjukkan masih kuatnya pandangan yang menyalahkan korban (victim blaming).
Prof. Tri menceritakan pengalaman pada 2013 saat seorang calon hakim agung dalam uji kelayakan di DPR menyatakan bahwa “yang diperkosa dan pemerkosa sama-sama salah”.
“Pernyataan seperti itu sangat misoginis dan berbahaya. Jika cara pandang seperti ini ada pada pejabat negara, bagaimana masa depan keadilan kita?” ujarnya.
Ia juga mengingat kasus awal 2000-an, ketika seorang pejabat menyalahkan korban pemerkosaan di angkot dengan mengatakan bahwa posisi duduk perempuan menjadi penyebab terjadinya kekerasan.
“Pandangan yang menyalahkan korban dan menempatkan perempuan sebagai pihak yang harus menyesuaikan diri agar tidak diperkosa sangat merusak. Keberpihakan pada korban sering kali tidak ada,” tegasnya.
