KBK.News, BANJARMASIN — Pengesahan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP) mendapat kritik tajam dari kalangan akademisi, Selasa (25/11/2025).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Kalimantan (UNISKA) Muhammad Arsyad Al-Banjari, Dr. Afif Khalid, menilai regulasi tersebut berpotensi membungkam ruang kritik publik dan melemahkan kebebasan akademik.

Menurut Afif, proses legislasi UU KUHAP berlangsung terburu-buru dan minim partisipasi publik.

Ia menyebut pembahasan di tingkat Panitia Kerja (Panja) DPR pada 12–13 November 2025 sebagai bentuk “legislasi super kilat” yang tidak sejalan dengan prinsip meaningful participation sebagaimana ditekankan Mahkamah Konstitusi.

“UU KUHAP itu berpotensi menjadi hukum anti-kritik. Kewenangan aparat yang diperluas tanpa pengawasan memadai bisa menjadi alat membungkam suara kritis, termasuk di lingkungan kampus,” tegas Afif, Selasa (25/11/2025).

Afif menilai sejumlah pasal dalam UU KUHAP mengandung ancaman langsung terhadap kebebasan sipil, mulai dari peneliti hingga mahasiswa.

Salah satu pasal yang dianggap paling berbahaya adalah Pasal 16, yang memperluas kewenangan undercover buy dan controlled delivery untuk seluruh jenis tindak pidana, bahkan sudah dapat diterapkan pada tahap penyelidikan.

“Ini membuka ruang penjebakan. Mahasiswa, peneliti, atau aktivis yang mengkaji isu sensitif bisa dengan mudah dijebak melalui operasi terselubung,” jelasnya.

Selain itu, Afif menyoroti pasal-pasal terkait upaya paksa seperti Pasal 5, 90, dan 93, yang dinilai memberi ruang bagi aparat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa kepastian tindak pidana yang jelas.

BACA JUGA :  PKKMB Uniska MAB, Rektor Tekankan Pentingnya Tri Dharma Perguruan Tinggi

“Instrumen ini bisa menjadi alat koersif. Ia mengintimidasi riset kritis dan membatasi kebebasan akademik,” tambahnya.

Afif juga menganggap Pasal 105, 112A, 124, dan 132A sebagai ancaman serius karena membuka peluang penyadapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran tanpa izin hakim.

“Kerahasiaan data penelitian bisa hilang. Informan terancam. Ini pukulan langsung terhadap ruang akademik,” ujarnya.

Di sisi lain, sentralisasi kewenangan penyidikan turut menjadi sorotan. Ketentuan dalam Pasal 7 dan 8 yang menempatkan seluruh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) serta penyidik khusus di bawah koordinasi Polri dinilai mengikis mekanisme pengawasan.

“Bagaimana akademisi bisa mengkritik lembaga yang kekuasaannya semakin absolut? Sentralisasi ini berbahaya,” kata Afif.

Afif menilai UU KUHAP baru bukan hanya mengancam ruang akademik, tetapi juga melemahkan fungsi perguruan tinggi sebagai penjaga nalar publik.

Ia menegaskan, percepatan pembahasan dengan alasan penyesuaian pemberlakuan KUHP pada Januari 2026 merupakan argumen keliru dan menutup ruang kritik masyarakat.

“Jika UU ini dipaksakan, itu kemunduran demokrasi dan ancaman nyata bagi perguruan tinggi sebagai penjaga kewarasan publik. Kami tidak akan tinggal diam,” pungkasnya. (Masruni)