KBK.News, MARTAPURA – Anggota DPRD Kabupaten Banjar sekaligus Sekretaris Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Banjar, M. Ali Syahbana, menegaskan bahwa tingginya angka HIV di daerah ini harus dijawab dengan pendekatan edukatif dan humanis, bukan dengan stigma dan diskriminasi terhadap para penyintas.

Dalam pernyataannya, Ali Syahbana menyampaikan keprihatinan atas tren kasus HIV yang masih tinggi di Kabupaten Banjar. Ia menekankan bahwa Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tetap memiliki martabat dan hak yang sama sebagai warga negara maupun sebagai sesama manusia.

Anggota DPRD Banjar Fraksi Gerindra, M Ali Syahbana. (Foto : Istimewa)

“Dalam pandangan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, penderita HIV adalah orang yang sedang diuji. Kewajiban kita adalah menolong, merawat, dan menjaga kehormatannya, bukan menghakimi,” ujarnya.

Ali mengingatkan, HIV tidak menular melalui aktivitas sehari-hari seperti berjabat tangan, makan bersama, atau hidup bertetangga. Karena itu, tidak ada alasan untuk menjauhi atau mengucilkan ODHA di lingkungan sosial.

Ia menilai stigma yang muncul di keluarga, tempat kerja, hingga komunitas justru memperburuk keadaan. “Ketika masyarakat memberi cap buruk, orang menjadi takut memeriksakan diri dan enggan berobat. Inilah yang membuat banyak kasus tidak terdeteksi sejak dini dan memperbesar risiko penularan,” jelasnya.

BACA JUGA :  Resmi! Kabupaten Banjar Lampaui Target 70 Persen Vaksinasi

Menurutnya, upaya menekan kasus HIV harus berani menyentuh “kelompok kunci” seperti pekerja seks, kelompok LGBT, pengguna narkoba suntik, serta kelompok berisiko lainnya. Namun, pendekatan itu harus dilakukan dengan cara yang persuasif, menjaga kerahasiaan, dan tanpa kekerasan.

“Petugas lapangan dan tenaga kesehatan perlu dibekali kemampuan komunikasi humanis, menjaga kerahasiaan identitas, dan tidak menggunakan bahasa yang menghakimi. Kepercayaan masyarakat terhadap layanan sangat penting,” tegasnya.

Ali Syahbana juga mendorong lahirnya regulasi daerah yang lebih jelas dan terarah, mulai dari payung hukum layanan ramah kelompok kunci, dukungan anggaran untuk tes serta terapi ARV, hingga aturan anti-stigma di fasilitas kesehatan dan sekolah.

“Penanganan HIV tidak boleh setengah hati. Semua harus bergerak dengan dasar regulasi yang kuat agar koordinasi dan keberlanjutan program terjamin,” tambahnya.

Ia menyerukan agar seluruh elemen masyarakat tokoh agama, tokoh adat, organisasi pemuda, hingga lembaga pendidikan bersatu dalam gerakan melawan HIV dengan semangat edukasi dan empati.

“Jihad yang kita butuhkan hari ini adalah jihad melawan kebodohan, ketakutan, dan perilaku tidak bertanggung jawab. Bukan memerangi orang yang sedang sakit,” tutupnya.