KBK.NEWS –Hulu Sungai Tengah — Pegunungan Meratus kini diselimuti duka mendalam. Musa, sosok legendaris yang dikenal sebagai penjaga alam, juru kunci hutan, dan simbol kearifan lokal Meratus, Kalimantan Selatan, dikabarkan meninggal dunia pada Senin malam, 15 Desember 2025, pukul 19.28 Wita.

​Almarhum, yang akrab disapa Kai Musa atau Pembakal Canggung, wafat di usia yang sangat senja, 119 tahun, di kediamannya di Desa Pantai Mangkiling, Kecamatan Hantakan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST).

​Amanah yang Terjaga hingga Akhir Hayat

​Kabar duka ini disampaikan oleh keponakan almarhum, Kasman. Ia menyebutkan bahwa Kai Musa meninggal dunia akibat faktor usia dan kondisi kesehatan yang memang sudah menurun.

​”Kai Musa meninggal sekitar pukul 19.28 Wita di rumahnya di Pantai Mangkiling. Saat ini keluarga sedang mengurus jenazah beliau,” ujar Kasman.

​Kai Musa dikenang luas sebagai sesepuh yang sepanjang hidupnya memilih menyatu dengan alam. Keponakan lainnya, Sahran, menuturkan bahwa almarhum konsisten mengingatkan masyarakat tentang satu hal: kewajiban menjaga gunung, hutan, dan mata air.

​”Bagi kakek, Meratus bukan sekadar tempat tinggal. Itu adalah amanah yang harus dijaga sampai akhir hayat,” tutur Sahran.

​Dimakamkan Sesuai Wasiat di Puncak Meratus

​Sesuai wasiat yang disampaikannya semasa hidup, jenazah Musa dimakamkan di lokasi yang ia cintai: kawasan terpencil di puncak Pegunungan Meratus, tepat di belakang rumahnya di Desa Datar Ajab, Hantakan.

​Meskipun telah memeluk agama Islam, ia tetap teguh memegang prinsip-prinsip adat dan konservasi yang diwarisinya dari leluhur Dayak Meratus.

​Sosok Sederhana yang Teguh Prinsip

​Selain dikenal sebagai juru kunci hutan, Musa juga merupakan tokoh yang bersahaja, disegani lintas generasi, dan dikenal sebagai seorang pandai besi pembuat mandau Meratus yang andal. Profesi tersebut telah ia geluti sejak muda, sebelum akhirnya berhenti beberapa tahun terakhir karena usia.

​Jurnalis lingkungan, Rendy Trisna, dalam catatan obituarinya, mengenang Kai Musa sebagai sosok yang luar biasa.

​”Beliau sangat kuat secara batin, bersahaja, dan penuh dengan cerita tentang sejarah kampung, hutan, hingga masa sebelum kemerdekaan. Meskipun raganya menua, semangat dan ingatannya tentang Meratus tetap menyala hingga akhir hayat,” tulis Rendy.

​Kepergian Musa—tokoh yang dijuluki “penjaga terakhir” nilai-nilai kearifan lokal Meratus—meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi keluarga dan masyarakat adat, tetapi juga bagi seluruh pegiat lingkungan di Indonesia.

​Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.