KBK.News, BANJARBARU – Usulan penetapan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional kembali menuai pro dan kontra. Di satu sisi disebut sebagai solusi konservasi, di sisi lain dinilai berpotensi mengancam hak dan ruang hidup masyarakat adat, Kamis (18/12/2025).

Isu tersebut menjadi pokok bahasan dalam dialog publik bertajuk “Taman Nasional Meratus: Solusi Konservasi atau Konflik Agraria dan Perampasan Hak Masyarakat Adat?” yang digelar Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, Kamis (18/12/2025), di Coffee Kala, Jalan RP Soeparto, Banjarbaru.

Dialog ini menghadirkan berbagai kalangan, mulai dari pemerintah, akademisi, masyarakat adat, aktivis lingkungan, mahasiswa, hingga jurnalis. Empat pemantik diskusi hadir, yakni Kepala Seksi Pengukuhan dan Penggunaan Kawasan Hutan Dinas Kehutanan Kalimantan Selatan Arifuddin, perwakilan masyarakat adat Dayak Pitap Anang Sahrani, akademisi dari Pusat Studi HAM Universitas Lambung Mangkurat Netty Herawati, serta Direktur Eksekutif Walhi Kalsel Raden Rafiq.

Dari unsur pemerintah, Arifuddin menegaskan bahwa rencana penetapan Taman Nasional Meratus merupakan usulan pemerintah pusat yang bertujuan sebagai solusi konservasi. Ia menyebut sejumlah taman nasional di Indonesia telah menunjukkan keberhasilan dalam menjaga kawasan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat penjaga hutan.

Terkait kritik minimnya pelibatan masyarakat adat, Arifuddin menyatakan proses tersebut belum dilakukan karena masih berada pada tahap usulan. “Bukan tidak dilibatkan, tapi belum. Setelah usulan, baru nanti akan melibatkan akademisi, pengamat, dan kemungkinan juga LSM,” ujarnya.

Pandangan berbeda disampaikan Anang Sahrani. Ia dengan tegas menolak penetapan Taman Nasional Meratus. Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi membatasi akses masyarakat adat terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan.

“Saya lahir dan besar di Meratus. Hutan itu seperti ibu bagi kami. Dari sanalah kami berlindung, memperoleh pangan, obat, dan penghidupan,” kata Anang. Ia menilai penetapan taman nasional akan menggerus mata pencaharian masyarakat adat, seperti mengambil getah, berburu, hingga praktik berladang yang telah dijalankan secara turun-temurun.

Anang juga menyoroti ancaman hilangnya kearifan lokal. “Kehilangan akses ke hutan bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal identitas dan tradisi,” tegasnya. Ia menutup pernyataannya dengan sikap tegas masyarakat adat Meratus untuk menolak pembentukan taman nasional dan menuntut pengakuan hak adat.

BACA JUGA :  Walhi Kalsel Sesalkan Pernyataan Jokowi Di COP 26 Dan Tolak Solusi Iklim Palsu

Dari perspektif akademis, Netty Herawati menilai rencana penetapan tersebut belum berpihak kepada masyarakat adat sebagai penghuni asli kawasan. Ia menekankan pentingnya pelibatan penuh masyarakat adat dalam setiap proses kebijakan pengelolaan hutan.

“Konsep konservasi yang ditawarkan masih jauh dari paradigma berbasis pengetahuan tradisional dan penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat adat,” ujarnya.

Sementara itu, Raden Rafiq memaparkan data dari Divisi Advokasi, Kampanye, Pendidikan, dan Pengkaderan Walhi Kalsel. Ia menyebutkan, sekitar 119.779 hektare Pegunungan Meratus diusulkan menjadi taman nasional, atau setara dengan 52,84 persen wilayah hidup masyarakat adat Meratus.

Menurut Raden, masyarakat adat telah mengelola kawasan tersebut secara lestari selama ratusan tahun. Ancaman utama justru datang dari aktivitas ekstraktif seperti tambang batu bara, perkebunan sawit, dan pembangunan infrastruktur.

Ia mengingatkan, konservasi kerap dijadikan kedok proyek investasi. “Banyak kawasan konservasi berujung pada perampasan ruang hidup, seperti yang terjadi di Taman Nasional Komodo. Meratus berpotensi mengalami hal serupa,” katanya.

Raden juga menyoroti kondisi Kalimantan Selatan yang telah dibebani izin konsesi hingga 51,57 persen dari total luas wilayah atau sekitar 1,9 juta hektare. Jika Meratus dieksklusifkan, ruang hidup masyarakat adat dinilai akan semakin menyempit.

Ia menambahkan, dampak penetapan taman nasional berpotensi memicu pembatasan akses, kriminalisasi masyarakat adat, hingga hilangnya kedaulatan atas ruang hidup dan praktik adat seperti ladang gilir balik serta ritual tradisional.

Sebagai alternatif, Raden mendorong pengakuan dan legalisasi hutan adat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, serta penguatan hak kolektif masyarakat adat melalui pengawalan gerakan sipil.

Dialog publik ini menegaskan bahwa wacana penetapan Taman Nasional Meratus masih menyisakan persoalan mendasar, terutama terkait keadilan ekologis dan perlindungan hak masyarakat adat yang telah lama hidup dan menjaga kawasan tersebut. (Masruni)