Viral Video Syur Sesama Jenis di Kalsel Tanda Krisis Jati Diri Generasi Muda
KBK.News, MARTAPURA – Maraknya peredaran video syur sesama jenis di Kalimantan Selatan tak sekadar dipandang sebagai pelanggaran moral biasa. Fenomena ini, menurut cendekiawan Muslim Kalimantan Selatan, M. Ali Syahbana, justru menandakan krisis yang jauh lebih dalam yakni krisis kesadaran diri manusia modern.
Syahbana yang juga menjabat Sekretaris LDNU Kabupaten Banjar sekaligus anggota DPRD Kabupaten Banjar, menyebut persoalan ini sebagai krisis epistemologis kolektif, yakni kegagalan memahami jati diri dan fitrah kemanusiaan secara utuh.

“Ini bukan hanya soal perilaku menyimpang yang viral di ruang publik, tetapi soal hilangnya kesadaran ontologis manusia terhadap hakikat dirinya,” ujar Ali Syahbana, Senin (22/12/2025) malam.
Perspektif Filsafat Islam: Ujian Eksistensial Manusia
Dalam pandangannya, Syahbana merujuk pada filsafat Islam klasik, khususnya pemikiran Imam Al-Ghazali. Ia mengaitkan fenomena tersebut dengan kisah kaum Nabi Luth sebagaimana termaktub dalam QS Al-A’raf ayat 80–84.
Menurutnya, kisah tersebut bukan semata-mata larangan normatif, tetapi peringatan tentang disorientasi batin manusia ketika nafsu al-ammarah bis-su’ menguasai kesadaran dan menjauhkan manusia dari perannya sebagai khalifah fil ardhi.
“Degradasi moral tidak lahir dari faktor eksternal semata. Ia berakar dari ketidaksadaran manusia mengelola potensi nafsu. Solusinya bukan reaksi represif sesaat, melainkan transformasi batin melalui ilmu dan mujahadah ibadah,” tegasnya.
Media Sosial dan Disintegrasi Identitas
Ali Syahbana juga menyoroti fenomena normalisasi perilaku “pria kemayu” di media sosial. Ia menilai hal tersebut sebagai gejala permukaan dari krisis identitas yang lebih luas, dipicu oleh imitasi budaya transnasional tanpa filter nilai.
“Generasi muda hari ini kesulitan membedakan antara autentisitas fitrah dan konstruksi budaya impor. Ini yang oleh Al-Ghazali disebut sebagai kegagalan pengendalian nafsu dan hilangnya self-awareness,” ujarnya.
Ia menambahkan, banjir informasi digital tanpa fondasi nilai justru mempercepat disintegrasi identitas, terutama pada usia remaja yang masih mencari jati diri.
Muhasabah sebagai Jalan Pemulihan Fitrah
Alih-alih sekadar mengecam, Syahbana menawarkan solusi konkret berbasis kesadaran diri (muhasabah). Ia menilai perubahan besar justru berawal dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang konsisten.
Beberapa langkah praktis yang ia tawarkan antara lain:
- Orang tua: muhasabah bersama anak selama 10 menit setiap malam.
- Sekolah: sesi refleksi fitrah 15 menit setiap Jumat.
- Pemuda: grup WhatsApp muhasabah pagi dengan pertanyaan, “Apa batas fitrahku hari ini?”
- Lingkungan kerja: jeda muhasabah 5 menit di siang hari untuk evaluasi diri.
“Semua berawal dari kesadaran diri. Jika muhasabah sederhana ini hidup di rumah, sekolah, dan kantor, maka pemulihan fitrah manusiawi akan terjadi secara alami dan mandiri,” pungkasnya.
