KBK.News, BANJARMASIN — Kasus pembunuhan terhadap Zahra Dilla (20), mahasiswi yang ditemukan meninggal dunia di depan Kampus STIHSA Banjarmasin pada Rabu (24/12/2025), menuai perhatian serius dari Social Justice Institute Kalimantan (SJIK). 

Lembaga ini menilai perkara tersebut tidak hanya sebagai tindak pidana pembunuhan, tetapi juga sebagai ujian bagi komitmen penegakan hukum, keadilan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM), terutama karena pelaku merupakan anggota aktif Kepolisian Republik Indonesia.

Koordinator Social Justice Institute Kalimantan, Wira Surya Wibawa, SH, MH, menyatakan bahwa penanganan kasus ini harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel untuk menjaga kepercayaan publik.

“Kasus ini menyentuh dua isu krusial sekaligus, yakni kekerasan terhadap perempuan dan potensi konflik kepentingan dalam penegakan hukum karena pelaku adalah aparat negara,” ujar Wira dalam keterangannya, Jumat (26/12/2025).

Kronologi Singkat Peristiwa

Berdasarkan laporan resmi kepolisian, peristiwa bermula pada Selasa malam (23/12/2025) sekitar pukul 20.00 WITA. Korban dan pelaku, Muhammad Seili (20), bertemu di kawasan Jalan Mali-Mali dan sempat berkeliling ke beberapa lokasi di Banjarbaru dan Kabupaten Banjar.

Sekitar pukul 01.30 WITA, keduanya berhenti di depan SPBU Gambut. Di lokasi tersebut terjadi hubungan intim di dalam mobil. Setelah korban mengancam akan mengungkap kejadian itu kepada pacar pelaku, pelaku diduga panik dan mencekik korban hingga tidak sadarkan diri. Korban kemudian dibawa ke Banjarmasin dan ditinggalkan di depan Kampus STIHSA sekitar pukul 03.00 WITA.

Pelaku diamankan aparat dan kini ditangani oleh Satreskrim Polresta Banjarmasin. Sejumlah barang bukti turut diamankan, di antaranya dua unit telepon genggam, perhiasan korban, kartu identitas, pakaian korban, serta satu unit mobil dan sepeda motor.

BACA JUGA :  Empat Terduga Pelaku Pembunuhan Sengketa Lahan Tambang Batu Bara di Pengaron Diamankan Polisi

Sorotan Aspek Hukum dan HAM

SJIK menilai kasus ini memenuhi unsur tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP. Selain itu, adanya penguasaan barang milik korban membuka kemungkinan penerapan pasal tambahan terkait pencurian dengan kekerasan.

Dari perspektif HAM, SJIK menyoroti beberapa aspek penting, antara lain:

Pelanggaran hak atas kehidupan korban sebagai hak asasi paling mendasar.

Indikasi kekerasan berbasis gender, mengingat korban adalah perempuan muda yang berada dalam relasi tidak setara.

Potensi konflik kepentingan, karena pelaku merupakan anggota Polri, sehingga membutuhkan pengawasan ekstra agar proses hukum berjalan independen dan objektif.

Hak keluarga korban, yang harus dijamin untuk memperoleh informasi, keadilan, serta pendampingan hukum dan psikososial.

Rekomendasi dan Sikap Lembaga

Sebagai lembaga kajian dan advokasi keadilan sosial, Social Justice Institute Kalimantan menyatakan sikap sebagai berikut:

Mendorong Polri membuka penanganan perkara secara transparan, termasuk perkembangan penyidikan dan penegakan kode etik.

Menuntut penegakan hukum tanpa pandang bulu, baik pidana umum maupun etik profesi.

Meminta perlindungan penuh terhadap hak-hak keluarga korban, termasuk pendampingan hukum dan psikososial.

Mengajak Komnas HAM dan lembaga pengawas independen untuk memantau proses penanganan perkara.

Menolak segala bentuk kekerasan berbasis relasi kuasa, khususnya terhadap perempuan.

SJIK juga menekankan pentingnya evaluasi internal dan penguatan pendidikan etika serta pencegahan kekerasan di lingkungan aparat penegak hukum guna mencegah kasus serupa terulang.

Kasus pembunuhan Zahra Dilla dinilai sebagai tragedi kemanusiaan yang harus ditangani secara serius dan berkeadilan. SJIK menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum dan mendorong reformasi sistemik demi tegaknya keadilan dan perlindungan HAM di Kalimantan Selatan. (Masruni)