JAKARTA – Kalangan akademisi bersama masyarakat sipil siap melakukan perlawanan terhadap pembungkaman kebebasan berpendapat dan kriminalisasi ,Rabu (2/8/2023).
Kalangan masyarakat sipil bersama para akademisi, bahkan aktivis menyoroti banyaknya kasus rekayasa untuk membungkam kebebasan berpendapat di Indonesia. Mereka yang lantang mengeluarkan pendapat dan mengkritik tidak sedikit yang dibubuhkan dengan cara – cara kriminalisasi atau pemidanaan.
Hal tersebut menggambarkan kebebasan berpendapat yang dijamin dan dilindungi undang undang belum betul dilaksanakan dengan benar. Pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan kritik serta kriminalisasi telah menyasar hampir kepada semua, yakni seperti ke masyarakat kecil, aktivis, dan bahkan terhadap para akademisi yang menyuarakan kebenaran.
Mensikapi permasalahan tersebut, 9 (sembilan) lembaga yang terdiri dari: IM57+Institute, THEMIS Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lokataru Foundation, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LBH PP Muhammadiyah), Komisi Untuk Orang Hilang dan Kekerasan Tindak Kekerasan (KontraS), Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm, dan Kemitraan Partnership, mengadakan diskusi publik yang diberi tema
“Penguatan Solidaritas Masyarakat Sipil di Hadapan Penguasa: Potret Pembungkaman Kritik dan Praktik Kriminalisasi di Indonesia”.
Diskusi tersebut digelar secara offline_di Ruangan Lantai 1 YLBHI beralamat di Jl. Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat 10320, dan sebagian pesertanya mengikuti melalui zoom meeting.
Hadir sebagai narasumber yaitu: Fatia Maulidiyanti, Zainal Arifin Mochtar, Arif Maulana, Haris Azhar, dan Denny Indrayana serta Mochamad Praswad Nugraha dari IM57+ Institute sebagai host.
Fatia Maulidiyanti yang hadir pada kegiatan ini bercerita dan berbagi pengalaman terkait pentingnya penguatan peran aktivis perempuan dalam menyuarakan kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik terhadap penguasa.
“Saat ini kita semakin takut untuk menyuarakan kebenaran. Semua kebijakan yang dibuat negara hanya menguntungkan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Sehingga, pembangunan hanya menguntungkan oligarki dan/atau kapitalis. Arti demokrasi disempitkan, yaitu hanya berada di bilik suara. Padahal esensi penting demokrasi adalah menjamin rakyat dalam menjalankan hak untuk berprotes, memberikan pendapat, maupun hak untuk berkumpul,” tegas Fatia, aktivis perempuan dan pegiat HAM ini.
Zainal Arifin Mochtar menambahkan, bahwa selama kita tidak berani menyatakan kritik untuk negara sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, maka kita telah membiarkan proses penegakan hukum berjalan tidak berimbang.
“ Dalam konteks demokrasi, penguasa sebenarnya yaitu adalah rakyat sendiri. Ini yang merupakan makna penting dari government by concept. Perlu partisipasi masyarakat yang terlibat dalam setiap pengambilan keputusan, misalnya dalam pembentukan undang-undang yang harus meaningful participation,” ujar Akademisi Hukum Tata Negara ini.
Kemudian, Arif Maulana juga menyampaikan, bahwa perlu adanya solidaritas antara civil society dengan mereka yang berada pada garis perjuangan kebebasan berpendapat, dan mereka yang menggunakan kritik sebagai media partisipasi dalam membangun negara.
“Kriminalisasi terjadi ketika masyarakat sedang memperjuangkan hak-haknya karena sedang ada persoalan serius. Misalnya terdapat beberapa ketentuan dalam KUHP yang sering digunakan oleh penguasa untuk menjerat aktivis publik. Hukum seharusnya menjadi alat untuk membatasi kekuasaan pemerintah, namun saat ini hukum menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan, sehingga dibutuhkan reformasi terhadap para aparat penegak hukum,” ucap Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI.
Haris Azhar, Aktivis HAM dan Advokat juga mempertegas bahwa kriminalisasi selalu menjadi senjata untuk membungkam suara masyarakat. Namun disisi lain masyarakat sipil sekarang sudah mulai konstruktif, sehingga hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa kritik dalam negara demokrasi harus dipahami sebagai bentuk partisipasi membangun negara.
“ Masyarakat perlu sosok yang berani untuk mengungkapkan kebenaran yang merepresentasikan kepentingan kolektif. Ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Denny Indrayana dalam memperjuangkan haknya. Sesungguhnya, masyarakat sipil menjadi sumber dari jembatan untuk berkomunikasi menyampaikan fakta kondisi bagi pengambil kebijakan publik,” jelasnya.
Pada kesempatan ini Denny Indrayana yang juga tergabung dalam diskusi ini memaparkan, bahwa setiap upaya advokasi publik adalah bagian dari moralitas dalam membangun negara.
Hal itulah menurut Senior Partner INTEGRITY Law Firm dan Guru Besar Hukum Tata Negara, di tengah situasi menghadapi Pemilu 2024, harus berani mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan penyelenggaran Pemilu 2024.
“Saat ini Demokrasi telah dibajak oleh Duitokrasi (daulat duit) yang telah menguasai elemen penting negara mulai dari lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Penting untuk mempunyai pemimpin yang paham bahwa kritik adalah bagian dari dunia politisi dan harus menilai politik kritik itu adalah obat kuat untuk bekerja. Bukan melihat kritik sebagai perbuatan pidana yang kemudian dikriminalisasi, melainkan sebagai bagian dari masukan untuk meningkatkan kualitas sebagai penyelenggara negara,” papar Denny Indrayana.
Pada akhir diskusi Mochamad Praswad Nugraha sebagai host memaparkan 4 (empat) hal sebagai pernyataan sikap yang didapat dari diskusi yang pihaknya gelar.
1. Kebebasan bicara dan perlindungan bagi pelapor merupakan pilar utama yang berkontribusi secara positif dalam mendukung pembongkaran korupsi dan demokrasi.
2. Buktikan komitmen Presiden untuk bersikap netral serta penjagaan atas demokrasi dengan menghentikan segala kriminalisasi terhadap aktivis pro demokrasi dan anti korupsi di seluruh Indonesia.
3. Tunjukan netralitas aparat penegak hukum dengan melakukan proses penegakan hukum yang menolak kriminalisasi terhadap kebebasan bicara.
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk merapatkan barisan dan bergerak sebagai satu kesatuan menghadapi berbagai upaya kriminalisasi.