Site icon Kantor Berita Kalimantan

Akademisi Sebut Kasus Wadas Warga Perlu Perlindungan Negara

KBK.NEWS, JAKARTA – Para akademi sesuai keilmuan mereka menyampaikan pernyataan tentang kepedulian terhadap warga Wadas yang mendapati kekerasan, tekanan, hingga upaya penambangan yang mengancam hak atas ruang hidup dan kehidupan mereka, Selasa (5/9/2023).

Akademisi Peduli Wadas telah melaksanakan upaya menguji putusan (Eksaminasi) dan menguji AMDAL Bendungan Bener yang menyangkut rencana Penambangan Batuan Andesit di Wadas. Keduanya dilakukan tahun lalu, di di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), 9 Maret 2023. Untuk melengkapi, melalui KIKA melakukan kajian yang diterbitkan Policy Brief https://kika.or.id/2023/05/implikasi-kuasa-eksklusi-pengadaan-tanah-proyek-strategis-nasional-terhadap-konflik-sosio-agraria-lingkungan-di-desa-wadas-jawa-tengah/

Dalam perkembangan terakhir, warga Wadas pejuang lingkungan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) kembali mendapatkan tekanan dari undangan kantor pertanahan, terkait “musyawarah” untuk persetujuan pelepasan hak tanah dalam rangka penambangan andesit.

Undangan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo, melalui surat Nomor 2175 1/UND-33.06.AT.02.02/VIII/2023 tertanggal 29 Agustus 2023, diselenggarakan Kamis, 31 Agustus 2023. Poin dalam undangan menyatakan bahwa warga yang tidak hadir akan dianggap menerima bentuk dan besaran ganti kerugian. Di hari pertemuan, seakan tidak ada pilihan, warga Desa Wadas pejuang lingkungan berarak menuju Balai Desa Wadas untuk memenuhi undangan. Dikabarkan, pada hari yang sama juga puluhan polisi dari Polres Purworejo, Bintara Pembina Desa, dan sejumlah tentara mengepung Balai Desa Wadas.

Menjelang pertemuan, perwakilan dari Kantor Pertanahan bersikukuh warga harus menandatangani daftar kehadiran jika acara hendak dimulai. Namun, warga menolak karena belajar dari pertemuan April 2018 lalu, tanda tangan kehadiran disalahgunakan sebagai bukti persetujuan warga atas rencana penambangan. Warga Wadas menandatangani daftar hadir, sebelum acara berlangsung.

Kehadiran warga, seakan bukan lagi musyawarah, tak ada opsi, termasuk untuk menolak bentuk dan besaran ganti kerugian, semua merasakan terpaksa mengikuti prosedur yang ditentukan sepihak oleh pemerintah. Warga diwajibkan hadir. Bila warga tidak hadir, mereka dianggap setuju perihal pemberian ganti rugi (Peraturan Menteri ATR Nomor 19 Tahun 2021). Dinas Komunikasi dan Informatika Jawa Tengah mengabarkan bahwa “warga Desa Wadas telah secara mufakat setuju dengan penambangan batu andesit untuk material kebutuhan proyek Bendungan Bener” https://jatengprov.go.id/publik/musyawarah-terakhir-warga-wadas-akhirnya-setujui-pembebasan-lahan/ . Padahal, warga menyatakan, tatkala musyawarah berlangsung, warga tetap saja dipaksa untuk menerima pemberian ganti rugi. Tidak ada ruang bagi warga untuk menolak.

Klaim sepihak Pemerintah tersebut, jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa warga Wadas pejuang lingkungan penolak tambang masih konsisten menolak rencana penambangan. Terlebih, Surat Keputusan Gubernur Jawa tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaharuan atas Penetapan Lokasi (IPL) Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah justru telah habis pada tanggal 7 Juni 2023.

Ini artinya, kami berpendapat, surat undangan yang dilayangkan beserta intimidasi oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sama sekali tidak memiliki legitimasi hukum. Di tengah penolakan warga dan Izin Penetapan Lokasi (IPL) yang telah habis, pemerintah terus memaksa warga menyerahkan tanahnya, melanjutkan proyek, dan terus menebarkan ancaman konsinyasi.

Dr. Rina Mardiana, dari Pusat Studi Agraria IPB sekaligus juga pejabat di Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB, menyatakan bahwa Wadas merupakan situs yang mempertunjukkan kelindan relasi kekuasaan dan paradigma pembangunan (pertumbuhan ekonomi) hingga terjadinya krisis sosio agraria-lingkungan di tingkat tapak. Melalui Wadas, kita bisa melihat, pertama, bagaimana mekanisme pengadaan tanah bagi pembangunan yang menggunakan instrumen kebijakan Negara dan melalui pengerahan aparatus Negara; dan kedua, sejauh mana dampak krisis sosio agraria-lingkungan terhadap konflik sosial vertikal dan horizontal di masyarakat.

Proses pengadaan tanah atas nama pembangunan yang berlangsung di Wadas telah memicu kontestasi antara Negara versus Rakyat dimana Negara menggunakan kuasa eksklusi melalui modal kekuasaan kultural, kapital, dan simbolik. Sementara warga Wadas berjuang melawan Negara dengan menggunakan modal sosial dan aksi kolektif warga/komunitas. Penundukkan warga melalui kekuasaan Negara telah sukses mendulang peralihan lahan dari tangan Rakyat ke Negara. Warga yang takluk itu selanjutnya disebut sebagai pihak pro. Sementara warga yang terus berjuang melawan potensi ancaman krisis agraria-lingkungan di tanah-air mereka, disemati stigma kontra. Padahal, sejak isu pertambangan batu andesit ditetapkan sepihak oleh Negara, serentak warga wadas yang bekerja di sektor pertanian, baik yang memiliki lahan pertanian ataupun tidak (buruh tani), seluruhnya tegas menyatakan penolakan atas tambang. Kepiawaian jaringan pemrakarsa

Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam mengendalikan opini dan media, telah menggerus sendi-sendi sosial kemasyarakatan warga Wadas, yang membenturkan kelompok pro dan kontra tambang sehingga konflik horizontal tak terhindarkan. Strategi memecah belah keguyuban warga Wadas sebagai satu kesatuan entitas sosial semacam ini merupakan strategi kuno yang lahir dari era kolonial. Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah dimasa kini kita menjajah diri kita sendiri?

Secara vertikal, konflik agraria-lingkungan di Wadas menjadi pemicu terjadinya ketidakpercayaan Rakyat pada kerja-kerja pemerintahan yang sepihak. Kesan ini tergambar kuat di warga, dalam imajinasi warga, pemerintah layaknya penjajah, maka mereka harus berjuang untuk mempertahankan tanah-air. Praktik kekuasaan Negara atas nama pembangunan semacam ini telah menggerus kepercayaan Rakyat akan keadilan hukum sebagai akibat adanya “rasa” bahwa merekalah yang terdampak pelanggaran hukum. Ruang hidup dan sumber nafkah warga Wadas terguncang, bahkan kondisi banjir dan hilangnya sumber mata air menjadi konsekuensi logis yang terjadi di Wadas hari ini dimana dampak itu menimpa siapapun warga Wadas, baik mereka yang di stigma kontra maupun pro.

Padahal, warga yang stigmatisasi kontra itu pun sudah mulai melunak, melihat perkembangan tanah-tanah warga yang sudah berpindah-tangan ke pihak PSN. Tuntutan warga Wadas sangat jelas sekali, mereka meminta itikad baik dan komitmen politik pemerintah terkait perencanaan penanganan dampak sosial dan lingkungan yang mencakup jaminan terhadap adanya mekanisme penanganan keluhan untuk sebelum, masa dan pasca proyek, memastikan adanya restorasi nafkah (livelihood) warga, perlindungan atas warisan budaya, penanganan atas pencemaran lingkungan hidup, jaminan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan masyarakat Wadas saat proyek beroperasi, serta upaya mitigasi dampak kumulatif sosio agraria-lingkungan. Bahkan, terhadap hal-hal tersebut tidak pernah ada upaya pemerintah untuk meresponnya. Sebaliknya, pemerintah terus menggempur warga untuk terus melepaskan tanah. Dimana keadilan? Dimana Negara menempatkan pembangunan berkelanjutan? Artinya kesadaran kritis dan konsistensi warga Wadas melawan dampak dan risiko tambang merupakan perjuangan substansial yang akan terus menggema.

Dr. Herdiansyah Hamzah, dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman menyatakan, “…ancaman konsinyasi jelas adalah cara kotor pemerintah untuk merampas tidak hanya tanah warga wadas, tapi juga ruang hidup serta masa depan anak cucu mereka. bahkan secara prinsip, metode konsinyasi tidak dikenal dalam rezim pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pertama, Pasal 42 ayat (2) UU a quo menyebutkan bahwa konsinyasi hanya bisa dilakukan jika “penerima yang berhak” tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank. Dengan demikian, maka sikap warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi. Kedua, Pasal 10 UU a quo secara eksplisit menyebutkan bahwa kegiatan pertambangan tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum. Artinya, kegiatan pertambangan bukanlah bagian dari objek pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Berdasarkan kedua alasan tersebut, maka upaya konsinyasi yang hendak dilakukan oleh pemerintah, jelas adalah bentuk intimidasi yang bertujuan untuk merampas tanah dan ruang hidup warga Desa Wadas.”

Mewakili para Akademisi Peduli Wadas, kami mengingatkan Pemerintah Republik Indonesia, termasuk jajaran pemerintah penyelenggara di lapangan, Pemda Jateng, Pemkab Purworejo, BPN/Kantor Pertanahan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR):

Pertama, dari sisi hukum agraria, begitu mudah dan banyak dijumpai kecacatan yang terjadi dalam proses pengadaan tanah ataupun proses formal menuju pelepasan hak. Ini sekaligus membuktikan rezim hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa dengan mudah menyalahgunakan hak warga negara untuk mendapatkan ruang hidup yang layak dan terhindar dari ancaman eksklusi atas dasar ‘kepentingan umum’.

Kedua, kami perlu mengingatkan betapa besar konsekuensi yang akan terjadi bila Proyek Strategis Nasional terus dijalankan, tanpa keberpihakan sisi kemanusiaan dan ekologis, serta belajar dari kasus Wadas, penghancuran sosial budaya warga dan perusakan alam itu demikian nyata terjadi.

Ketiga, kasus di Wadas merefleksikan bahwa telah terjadi kesewenang- wenangan penguasa terhadap warga negaranya, pelanggaran hak konstitusional, serta politik hukum yang kian jauh dari tujuan negara.

Pada akhirnya, kami mendesakkan Negara, terutama Pemerintah, untuk mengetuk nurani kemanusiaan, mengupayakan pembatalan atas rencana penambangan yang kian hari kian jelas berdampak buruk secara kemanusiaan dan ekologis, dan pula begitu banyak menghilangkan hak hak dasar warga negara yang dijamin tegas dalam UUD NRI 1945.

Kami, yang mewakili hadir serta memberikan pernyataan dari Akademisi Peduli Wadas, Dr. Rikardo Simarmata (Ketua Pusat Kajian Djojodigoeno FH UGM), Dr. Herdiansyah Hamzah (Ketua Pusat Studi Anti Korupsi FH UNMUL), Dr. Rina Mardiana (Dewan Penasehat Pusat Studi Agraria IPB dan Badan Pengembangan Kampus Berkelanjutan IPB)), Dr. Dhia Al Uyun (Ketua Serikat Pekerja Kampus, Dosen FH UB), dan Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM).

Exit mobile version