Kantor Hukum Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) Law Firm kembali menggelar INTEGRITY Constitutional Discussion (ICD) Mengenai Amandemen UUD 1945, Kamis (26/8/2021).
Jika ICD sebelumnya membahas persoalan antisipasi dan solusi hukum PHK di tengah pandemi, tema diskusi kedua kali ini bertajuk “Urgensi Amandemen Konstitusi di Tengah Pandemi: Untuk Kepentingan Siapa?”
Hadir sebagai pembicara kunci adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Prof. Mahfud MD, dengan nara sumber Wakil Ketua MPR Arsul Sani; Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti; dan Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Prof. Denny Indrayana.
Webinar ini dibuka dengan paparan dari Menkopolhukam yang menyampaikan bahwa sebagai pemerintah tidak bisa berkomentar banyak karena soal amandemen konstitusi adalah kewenangan MPR. Di luar itu, Menkopolhukam mengatakan sepanjang sejarah Indonesia, tidak ada konstitusi yang luput dari kritik, baik UUD 1945, Konstitusi RIS, UUD Sementara, maupun UUD 1945 hasil amandemen pasca reformasi 1998. Mengutip pendapat K.C. Wheare, Mahfud MD mengatakan bahwa konstitusi merupakan resultan kondisi situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada saat pembuatannya.
“Secara teoritis, UUD bisa diubah melalui proses yang tidak sederhana. Namun pemerintah tidak dapat ikut campur dalam proses amandemen UUD untuk menyatakan setuju atau tidak setuju, substansi dari amandemen UUD 1945 merupakan kewenangan MPR,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini melalui zoom meeting yang disiarkan Channel Youtube INTEGRITY, Kamis, 26 Agustus 2021.
Wakil Ketua MPR, Arsul Sani menyatakan, setelah amandemen keempat UUD 1945 di tahun 2002, sudah disuarakan urgensi amandemen kelima. Adapun yang menjadi sorotan bukan sistem pemerintahan atau demokrasi Indonesia, tetapi Pasal 33 UUD 1945 yang dianggap sistem perekonomian Indonesia liberal atau bebas dan terkait Pemilihan Presiden secara langsung yang dianggap tidak sejalan dengan sila keempat Pancasila yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.”
“Namun MPR masih belum memutuskan apakah akan ada amandemen atau tidak karena syarat Pasal 37 UUD 1945 belum terpenuhi. Syarat pertama, harus ada usulan dari minimal 1/3 dari anggota MPR yang diisi oleh anggota DPR dan DPD, yang jumlahnya 711 dan sepertiganya minimal 238. Jumlah minimal tersebut harus memberi rekomendasi tertulis dan jumlah tersebut sampai saat ini belum ada. Kedua, apa yang akan dirubah, pasal mana dan bunyi menjadi seperti apa serta alasannya seperti apa masih belum ada,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan ini.
Bivitri Susanti, Pengajar STHI Jentera melihat secara kritis bahwa amandemen UUD 1945 bukan soal hitung-hitungan matematis, melainkan soal politik. Dalam hal ini, bagaimana kemampuan politisi menangkap aspirasi rakyat versus kemampuan politisi untuk memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan politik kelompoknya sendiri, dengan memanipulasi aspirasi rakyat. Analisis Bibip, sapaan akrab Bivitri ini berkaca pada benang merah sejarah konstitusi RI yang menunjukkan amandemen tidak lahir dari ruang kosong dan gagasan elite politik, melainkan selalu ada momentum konstitusional.
“Dalam studi-studi hukum tata negara dan politik, ada kecenderungan munculnya keinginan elite politik mengamandemen konstitusi untuk melegalkan hal-hal yang ingin dilakukannya. Secara prinsip ada pelanggaran nilai konstitusi, tapi para elite mengubah konstitusi itu agar praktik yang tak konstitusional tersebut tak menjadi pelanggaran. Karena itu, saya sampai pada kesimpulan untuk menolak amandemen UUD 1945 karena belum ada urgensinya. Anggota MPR saat ini perlu fokus kepada tugas-tugas aslinya untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan,” ujar mantan Direktur PSHK ini.
Sementara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm Prof. Denny Indrayana menyatakan meski saat ini tengah berlangsung krisis ekonomi, tetapi belum sampai pada krisis sosial politik yang biasanya melahirkan momentum perubahan konstitusi. Maka, jika kemudian ada dorongan sosial politik untuk amandemen konstitusi, hal tersebut untuk kepentingan siapa?
“Terkait wacana perpanjangan periode jabatan presiden melalui amandemen konstitusi, hal ini adalah konsep baru karena tidak pernah diterapkan di konstitusi negara manapun untuk Presiden sebagai Kepala Pemerintahan (chief of executive). Berbeda halnya jika Presiden hanya simbolik Kepala Negara (chief of state). Maka, penting untuk memastikan perubahan konstitusi jauh dari unsur benturan kepentingan (conflict of interest) dari kepala pemerintahan,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Denny juga menambahkan, wacana untuk mengundurkan Pemilu 2024 saat ini tidak ada dasar hukumnya dan harus dilakukan melalui perubahan konstitusi. Kalaupun alasan pengunduran Pemilu karena alasan pandemi, maka keputusan untuk mengundurkan Pemilu adalah cenderung menjadi keputusan yang tidak demokratis.
Untuk diketahui, webinar ini adalah bagian dari program INTEGRITY Law Firm dengan tajuk Integrity Constitutional Discussion. Program ini adalah kegiatan rutin INTEGRITY Law Firm yang berusaha menemukan solusi terbaik atas masalah-masalah konstitusional aktual yang mencuat di ruang publik.