Andai Jendela tidak Terbuka, tak Akan Ada Lagu Tears in Heaven
KBK.News, LONDON –Dunia mengenalnya sebagai dewa gitar, seorang legenda rock and roll yang tak tergantikan. Namun, pada tahun 1991, Eric Clapton bukanlah seorang bintang—melainkan seorang ayah yang patah hati.
Pada 20 Maret 1991, tragedi mengguncang hidup Clapton. Putra kecilnya, Conor Clapton yang baru berusia empat tahun, terjatuh dari lantai 53 sebuah apartemen di New York. Satu jendela yang dibiarkan terbuka oleh petugas kebersihan menjadi awal dari duka yang mendalam.
Eric Clapton kehilangan segalanya dalam sekejap.
Ia menghilang dari panggung, meninggalkan gitarnya, dan menutup diri dari dunia. Kesedihan membungkam musiknya—hingga sembilan bulan kemudian.
Seperti diunggah akun @arsip.peristiwa, Clapton menulis lagu Tears in Heaven, bukan sebagai proyek komersial, tetapi sebagai bisikan terakhir seorang ayah kepada anaknya. Lagu itu adalah terapi, doa, dan tangisan yang disalurkan melalui senar gitarnya.
“Would you know my name, if I saw you in heaven?”
“Would it be the same, if I saw you in heaven?”
Dirilis pada 1992, lagu itu memenangi tiga Grammy Awards dan mengguncang dunia dengan kesederhanaan dan ketulusannya.
Tears in Heaven bukan sekadar musik—melainkan sebuah perwujudan kehilangan dan cinta tanpa akhir.
Beberapa tahun kemudian, Clapton berhenti membawakan lagu itu secara langsung. Ia berkata, lukanya telah pulih, dan lagu itu telah menjalankan fungsinya.
Kini, setiap kali lagu Tears in Heaven terdengar, dunia teringat bahwa musik paling indah sering lahir dari rasa sakit terdalam. Dan jika hari itu jendela tak terbuka, mungkin dunia tak akan pernah tahu, betapa dalam cinta seorang ayah kepada anaknya.