JAKARTA – Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Pribudiarta N Sitepu, mengungkapkan data kekerasan terhadap perempuan (KtP) dan anak masih tinggi seperti fenomena gunung es, Rabu (29/12/2021).
Hal ini dipengaruhi berbagai hal seperti masalah budaya, mindset, dan adanya stigma di masyarakat sehingga kasus kekerasan tidak banyak terungkap.
“Padahal, data tersebut sangat penting dan dibutuhkan sebagai dasar untuk melakukan berbagai intervensi dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan. Sebagai upaya mewujudkan ketersediaan data kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kemen PPPA melakukan dua metode,” ujar Pribudiarta dalam keterangan tertulis, Rabu (29/12/2021).
Metode pertama, melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) untuk mendapatkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan; dan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) untuk mendapatkan data prevalensi kekerasan terhadap anak. Metode kedua, melakukan pendataan secara online melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA).
Di sisi lain, Pribudiarta menjelaskan, tantangan lain ada banyak sistem pendokumentasian kasus kekerasan yang telah dikembangkan oleh berbagai pihak, namun masih parsial atau berdiri sendiri-sendiri yang bisa menyebabkan penghitungan ganda atau tumpang tindih.
“Kemen PPPA, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) telah menandatangani Kesepakatan Bersama tentang sinergi data dan pemanfaatan sistem pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan untuk pemenuhan hak asasi perempuan pada 21 Desember 2019. Salah satu implementasinya adalah penyusunan laporan bersama dari pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan,” jelas Pribudiarta.
Pada 2021, ketiga lembaga menyepakati untuk mengeluarkan data kondisi kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari – Juni 2021 sebagai langkah awal kerja sinergi data KtP. Tercatat perempuan yang menjadi korban kekerasan yang melaporkan kasusnya dan ditangani adalah sebesar 9.057 korban (Simfoni PPA), 1.967 korban (Sintaspuan Komnas Perempuan) dan 806 korban (Titian Perempuan FPL).
Data menunjukkan usia kerentanan anak perempuan dan perempuan dewasa berdasarkan jenis dan bentuk kekerasannya berbeda. Data Simfoni PPA, Sintaspuan dan Titian Perempuan menunjukkan bahwa anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual (3.248 orang; 152 orang; 84 orang). Sedangkan pada data Simfoni PPA, perempuan dewasa paling tinggi mengalami kekerasan fisik (2.324 orang). Namun, data Sintaspuan dan Titian Perempuan mencatat bahwa kekerasan psikis tertinggi dialami oleh perempuan dewasa (893 orang; 349 orang).
Meninjau ranah kekerasan, ketiga lembaga secara konsisten memotret pelaku pada ranah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal adalah suami (2.135 orang; 373 orang; 399 orang). Secara geografis, sebaran kasus KtP paling tinggi berada di wilayah Jawa. Namun fakta tersebut tidak berarti bahwa kasus KtP di wilayah lain lebih sedikit terjadi. Dapat dikatakan tingginya pengaduan kasus di wilayah Jawa karena adanya infrastruktur layanan dan pendukung pendokumentasian yang baik, serta komitmen pemerintah daerah dalam penanganan kasus KtP.
Laporan bersama tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan kebijakan dan koordinasi penanganan kasus untuk kepentingan pemajuan hak asasi perempuan. Tidak hanya bagi pemerintah, ketersediaan data kekerasan terhadap perempuan juga dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk mengetahui gambaran kondisi kekerasan terhadap perempuan dan anak secara aktual.
Foto: IndonesiaBaik.id
Sumber : infopublik.id