Kantor Berita Kalimantan

Inilah Salah Satu Cara Curang Pada Pilkada

KBK- Tanjung : Pemungutan suara ulang (PSU) pada Pilkada Tabalong 2018 hanyalah hiasan atau lipstick dari sisi penanganan atas dugaan pelanggaran,sebab hasilnya juga tidak akan merubah siapa yang menang atau kalah.

Pengawas Pemilu (Panwaslu) Tabalong melaksanakan pemungutan suara ulang di satu Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Pilkada Kabupaten Tabalong 2018. TPS yang menggelar PSU adalah TPS 15 di Desa Belimbing Raya, Kecamatan Murung Pudak dengan jumlah 464 pemilih sesuai tercantum di daftar pemilih tetap (DPT) Pilkada Tabalong 2018.

PSU digelar oleh KPU Tabalong menyusul adanya temuan dan rekomendasi dari Panwaslu tentang pembukaan kotak suara di TPS tersebut. Namun ada yang menarik perhatian,yakni hasil dari PSU tersebut tidak akan mempengaruhi siapa yang menang atau yang kalah pada Pilkada Tabalong 2018. Sebab, meskipun seluruh suara untuk paslon yang berada diperingkat dua dalam perolehan suara, namun tidak akan mampu melebihi pasangan yang berada di peringkat pertama.

PSU yang digelar juga mendapat perhatian serius dari Bawaslu dan KPU Kalsel bahkan Ketua Bawaslu Iwan Setiawan dan Ketua KPU Kalsel Edy Ariansyah, serta Kapolda Kalsel Brigjen Pol Rachmat Mulyana melakukan pemantauan langsung.

Kalau hasil PSU tidak akan mempengaruhi hasil pilkada,lalu mengapa harus dilakukan ? Apa KPU dan Panwaslu setempat ingin terlihat sangat tegas dan jeli dalam melakukan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu ? Karena amanah undang-undang ? Silakan masyarakat yang mengetahui kebenarannya.

BEGINILAH SALAH SATU CARA ATAU BENTUK KECURANGAN DAN PELANGGARAN DI PILKADA

Sementara itu terkait dugaan pelanggaran yang terjadi pada Pilkada Serentak 2018 diberbagai daerah di Indonesia memang sangat banyak dilaporkan, tetapi dugaan pelanggaran lebih banyak dilakukan oleh paslon petahana, terutama keterlibatan ASN. Namun, walaupun ini ditindakkanjuti oleh Panwaslu dan Bawaslu, tetapi tidak semuanya bisa ditangani,karena harus memenuhi persyaratan -persyaratan agar bisa bisa diteruskan untuk mendapat sanksi.

Sebetulnya banyak pelanggaran dan cara curang agar bisa memenangkan pemilihan pada pilkada yang digelar dan perlu kita ketahui bersama unruk selanjutnya dapat diantisipasi. Dikutip dari detik.com berikut salahsatu cara jitu bermain curang :

Modus-Modus Kecurangan dalam Pilkada, Mainkan DPT hingga Serangan Fajar
Ada tengara bahwa kecurangan selalu mewarnai pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Baik itu pemilihan kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur), legislatif, maupun presiden. Benarkah anggapan itu? Jawa Pos berhasil mewawancarai sejumlah pihak yang mengaku pernah melakukan kecurangan tersebut dalam beberapa pemilu sebelumnya. Berikut laporannya.

Namanya sebut saja Johan. Suara tawanya terdengar berat dan besar, seperti bentuk badannya. Pria itu langsung tertawa ketika ditanya soal pemilu yang jujur. “Rodok ruwet, Mas. Iku wis ditoto ket awal. Wis onok order-orderan (Agak rumit, Mas. Itu sudah ditata sejak awal. Sudah ada order-orderan, Red),” ucap mantan anggota panitia pemungutan suara (PPS) tersebut.

Singkat kata, Johan mengatakan bahwa proses pemilu di Indonesia, yang dianggap sudah demokratis (terlihat dengan tak mengucurnya lagi dana pemantauan pemilu dari funding Barat), ternyata sudah di-setting sejak awal, sejak pra coblosan.

Yang kali pertama dilakukan ialah merekayasa daftar pemilih tetap (DPT). Menurut Johan, tahap tersebut sangat penting. “Ibaratnya, seperti membentuk lapangan tempur sesuai dengan keinginan pemesan,” ungkapnya.

Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengondisikan DPT sedemikian rupa. Yang pertama ialah mengacak dan memecah pemilih sehingga seseorang justru terdaftar di TPS yang jauh dari rumahnya. Harapannya, banyak orang yang malas mencoblos. Ini berarti ada banyak sisa surat suara yang tak terpakai dan bisa dicoblos sendiri sesuai dengan keinginan pemesan.

Kedua, menambahkan ghost voters atau pemilih siluman. Ada bermacam cara yang sering dipakai. Misalnya tidak menghapus daftar orang yang sudah meninggal, pindah, atau yang masih di bawah umur dalam DPT. Ada juga cara yang paling vulgar, yakni menambahkan nama yang benar-benar fiktif. Jumlahnya bisa dibuat sesuka hati, tapi biasanya disesuaikan dulu dengan densitas (kepadatan) dan demografi penduduk. “Kasarannya, bila ada daerah yang betul-betul sepi, tentu saja tidak akan ditambahkan ghost voters yang banyak. Pasti kentara,” paparnya.

Yang ketiga ialah menghilangkan nama dari DPT dengan memanfaatkan kacau-balaunya sistem administrasi kependudukan. Tujuan penghilangan nama tentu saja merusak dan menggembosi basis lawan. Misalnya, yang berbuat curang adalah partai X dan ingin mencurangi partai Y. Maka, DPT di basis daerah Y bakal dikepras dan menimbulkan efek frustrasi yang dampaknya cukup kuat.

Menurut Johan, meski sistematis, tetap saja pemesan tak ingin vulgar. Untuk mengurangi kemungkinan vulgar tersebut, perlu ada riset mengenai hasil pileg, pilpres, serta pemetaan kekuatan. “Sehingga tinggal disesuaikan dengan petanya. Sudah ada plotting wilayah dari tim hitung-hitungan partai, diserahkan, dan langsung digarap oleh panitia pemilu yang ada, kemudian disebar merata,” tambahnya.

Pemerataan DPT yang hendak dimainkan penting juga. Sebab, tambahan suara yang akan dibetot juga tidak akan banyak per tempat pemungutan suara (TPS). Rata-rata 10-15 yang akan dicuri di tiap TPS. Jumlahnya kecil memang. Namun, kalau dikalikan dengan ribuan jumlah TPS yang ada di suatu kota, jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu.

Kecurangan itu bisa langgeng karena sosialisasi oleh KPU lebih sering sekadar menempelkan DPS dan DPT di kantor kelurahan. “Padahal, jarang ada warga yang mau bela-belain datang ke kantor kelurahan untuk memeriksa DPT,” tandasnya. Kalaupun ada, asal sudah melihat namanya, dan mungkin nama segelintir temannya, orang itu tak mungkin memelototi DPT secara detail lagi.

Praktis, pengawasan DPT memang harus lahir dari eksternal atau tim pemenangan pasangan calon. Di sisi lain, tim pemenangan biasanya lebih sibuk mengurus kampanye, bukan memelototi satu per satu daftar nama yang berisi jutaan nama itu.

Ketua KPU Surabaya Eko Sasmito mengakui bahwa masyarakatlah yang seharusnya aktif memantau DPT. “Sebab, kami hanya melakukan pengesahan DPT yang ditetapkan PPS. Maka, saya mengimbau masyarakat untuk lebih aktif memantau,” tuturnya. Dia juga menerangkan bahwa sortiran nama atau pemutakhiran data memang tak dilakukan pihaknya. Hanya dilakukan petugas pemutakhiran data pemilih (P2DP) dan PPS.

Selain mempermainkan DPT, modus kecurangan lainnya ialah merekayasa undangan coblosan. “Banyak undangan coblosan yang tidak disampaikan kepada warga, tapi per TPS. Jumlahnya tidak besar. Antara lima sampai sepuluh undangan. Ini yang akan dicoblos sendiri,” ungkap Johan. Jumlahnya memang terkesan kecil. Tapi, dari modus undangan saja, bisa terkumpul sekitar 50 ribu tambahan suara, dengan asumsi jumlah TPS mencapai 5 ribu titik.

Selain itu, kecurangan pra coblosan lain yang sering terjadi adalah serangan fajar. Ini adalah istilah untuk menyebut pembagian uang atau sembako menjelang coblosan. Tempat sasaran operasi pun tidak diambil secara acak, tapi dipilih dari hasil survei. Hasil pemetaan survei memang menyebutkan daerah-daerah mana saja yang memungkinkan dan urgent untuk dilakukan politik uang (money politics) tersebut. Istilah kerennya di tingkatan operator adalah smart money atau uang yang dibagikan secara pintar.

Tapi, pelaksanaannya tidak sesederhana yang sering disebutkan orang selama ini. Operator tidak begitu saja datang dan membagikan uang seraya berteriak “pilih yang ini ya”. Ada cara yang halus, misalnya saat coblosan. Untuk yang satu ini, operator biasanya punya kenalan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).

Oknum KPPS itulah yang memberikan informasi tentang nama-nama warga yang belum mencoblos hingga pukul 11.00 atau mendekati penghitungan suara di TPS. Nama-nama tersebut yang dijadikan sebagai sasaran politik uang. Si operator lantas mendatangi rumah yang bersangkutan dan tanpa tedeng aling-aling langsung menawarkan uang untuk mencoblos.

Selain cara itu, ada langkah yang terkesan intimidatif. Ada cerita sebuah keluarga. Tiga anggota keluarga tersebut masuk dalam DPT, yakni ayah, ibu, dan seorang anak. Keluarga itu didatangi dua pria berambut cepak, bertampang sangar, dan berbadan tegap. Pria tersebut menawarkan alternatif singkat: pilih calon kami dapat uang Rp 100 ribuan atau tak pilih Anda bisa sengsara. Untuk memastikannya, si operator bilang kepada kepala keluarga, “Di kampung ini saya hanya datang ke rumah Anda. Jadi, satu-satunya suara yang didapat nanti hanya dari Anda bertiga.”

Karena ketakutan, keluarga tersebut akhirnya memang mencoblos sebagaimana yang diminta pria tak dikenal itu. Padahal, dua pria tersebut sejatinya berkeliling dari rumah ke rumah di kampung itu dan mengatakan hal yang sama.

Saat di TPS

Titik penting dalam pemilu adalah momen saat di TPS. Di sana paling rentan terjadi main-main. Namun, bila permasalahan di TPS sudah beres, akan lebih mudah melakukan perbaikan data jika ditemukan kecurangan.

Modus pertama kecurangan di TPS adalah pencoblosan sendiri yang dilakukan oknum KPPS. “Kecurangan di TPS selalu melibatkan KPPS dan tak mungkin dilakukan satu oknum saja. Minimal tiga petugas TPS yang terlibat,” ucap Soni (bukan nama sebenarnya), seorang aktivis partai yang juga pernah menjadi KPPS di Surabaya Selatan. “Tak mungkin main sendirian karena terlalu berisiko. Bila ada indikasi satu anggota KPPS curang, pasti temannya sesama KPPS di sana juga terlibat,” imbuhnya.

Dengan memanfaatkan undangan yang tak disebar atau sudah mengincar sejumlah surat suara yang telah “dipesan”, KPPS pun akan mencoblosnya sendiri. Soni mengatakan, pencoblosan itu dilakukan sendiri oleh KPPS saat jeda istirahat antara selesainya proses coblosan dan akan masuknya penghitungan suara. “Jadi, saksi harus mengawasi semua anggota KPPS saat jeda atau makan. Karena itu sangat penting,” imbuhnya.

Berikut kutipan lengkapnya

Begitulah sebagian kecurangan atau pelanggaran yang dapat dilakukan untuk bisa memenangkan pemungutan dan mendulang suara. Untuk mengantisipasi hal ini berharap pada KPU dan Bawaslu saja tidak cukup, sehingga Paslon dan masyarakat luas perlu mengawasi semua tahapan agar tidak menjadi kalah dan hanya menjadi pecundang akibat kecurangan-kecurangan.

Mari Kita Semua Berpolitik Dengan Cerdas Agar Pemilu Lebib Berkualitas

OPINI. :
Photo. :Jurnalis Indonesia

Exit mobile version