BEMSI KALSEL Geruduk DPRD Provinsi Kalsel, Tolak Pengesahan KUHAP
KBK.News, BANJARMASIN - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Kalimantan Selatan (BEMSI Kalsel) menggelar aksi unjuk rasa di halaman Gedung DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, Senin (24/11/2025).
Massa aksi menyuarakan penolakan terhadap pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dinilai sarat pasal bermasalah dan berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Para mahasiswa mengenakan almamater masing-masing serta membawa sejumlah spanduk. Salah satunya bertuliskan “Gedung Ini Disita. Sedang Dalam Perbaikan Reformasi #SemuaBisaKena”.
Mereka juga membentangkan spanduk penolakan penetapan Pegunungan Meratus sebagai Taman Nasional Meratus dan menyanyikan lagu Iwan Fals “Surat Buat Wakil Rakyat” sebagai simbol kritik terhadap representasi politik.
Koordinator Pusat BEM se-Kalsel, M. Irfan, menyatakan aksi ini merupakan bentuk penolakan terhadap KUHAP yang baru disahkan. Menurutnya, regulasi tersebut mengandung pasal-pasal yang melemahkan kontrol publik terhadap aparat penegak hukum.
“Kami menolak dengan tegas penetapan KUHAP yang mencederai prinsip keadilan, mengancam hak asasi manusia, serta bisa melemahkan mekanisme kontrol terhadap aparat penegak hukum karena sarat pasal problematik,” tegas Irfan.
Dalam orasinya, Ketua BemSI Kalsel Muhammad Rizky juga menyoroti proses legislasi yang tertutup dan minim keterlibatan publik.
“Hari ini kita menyaksikan bagaimana negara mencoba merekrut kita melalui undang-undang yang lahir tanpa perdebatan sehat. Keputusan besar dibuat tanpa melibatkan masyarakat, dan praktik seperti ini harus kita kritisi,” ujarnya di hadapan massa aksi.
Dalam aksi tersebut, BEM se-Kalsel menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain:
1. Menolak pengesahan KUHAP yang dinilai mencederai prinsip keadilan, mengancam HAM, melemahkan mekanisme kontrol terhadap aparat penegak hukum, serta dibuat secara tergesa-gesa dan berpotensi merugikan kepentingan publik.
2. Mendesak pemerintah membatalkan penetapan Taman Nasional Meratus, karena dinilai tidak transparan, menghilangkan ruang hidup masyarakat adat, dan tidak memiliki kajian sosial-lingkungan yang komprehensif.
3. Menuntut penghentian aktivitas tambang ilegal di wilayah penyangga Meratus, serta meminta penyelidikan terbuka terkait dugaan perampasan tanah warga dan pencemaran lingkungan.
4. Meminta audit lingkungan menyeluruh, penyediaan air bersih darurat, perbaikan infrastruktur terdampak tambang, serta pemulihan hak masyarakat adat sebelum proses penetapan Taman Nasional Meratus dilanjutkan.
5. Menyoroti kelangkaan BBM serta isu lingkungan hidup di Kalimantan Selatan sebagai dampak buruk dari tata kelola sumber daya alam yang tidak berpihak pada warga. (Masruni)

