KBK.NEWS BANJARMASIN – Buzzer dan beberapa dampak Negatifnya menjadi permasalahan dan untuk mengetahui dan memberikan menghindari atau melawannya inilah sejumlah ciri-ciri akun buzzer tersebut. 

Dampak Negatif dari Buzzer 

Disinformasi dan Manipulasi Opini: Buzzer sering kali menyebarkan informasi yang tidak akurat, bias, atau bahkan palsu untuk memanipulasi opini publik sesuai dengan kepentingan pihak yang membayar mereka.

Polarisasi dan Perpecahan: Buzzer dapat memperkeruh suasana dengan menyebarkan ujaran kebencian, provokasi, atau narasi yang memecah belah masyarakat berdasarkan isu SARA, politik, atau lainnya.

Perusakan Reputasi: Buzzer dapat menyerang dan merusak reputasi individu, kelompok, atau organisasi melalui kampanye hitam (black campaign) yang terkoordinasi.

Mengganggu Demokrasi: Praktik buzzer dapat merusak proses demokrasi dengan memengaruhi opini publik secara tidak sehat, menekan kebebasan berpendapat yang jujur, dan mengganggu jalannya diskusi publik yang rasional.

Keresahan Sosial: Buzzer dapat menciptakan keresahan sosial dengan menyebarkan ketakutan, kecemasan, dan ketidakpercayaan di masyarakat.

Pencemaran Ruang Publik: Buzzer dapat membanjiri ruang publik (terutama media sosial) dengan konten yang tidak relevan, spam, atau propaganda, sehingga mengganggu komunikasi yang sehat dan produktif.

Merusak Jurnalisme: Buzzer dapat mengaburkan batas antara informasi yang benar dan propaganda, sehingga menyulitkan masyarakat untuk membedakan berita yang akurat dari informasi yang salah. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap jurnalisme.

Dampak Psikologis: Buzzer dapat menyebabkan stres, kecemasan, depresi, dan masalah psikologis lainnya pada individu yang menjadi target serangan mereka.

Penting untuk diingat bahwa tidak semua aktivitas online yang mendukung suatu pihak adalah aktivitas buzzer. Namun, ketika aktivitas tersebut dilakukan secara terkoordinasi, dengan tujuan menyebarkan disinformasi atau memanipulasi opini publik, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai praktik buzzer yang merugikan.

Akun buzzer memiliki beberapa ciri yang dapat dikenali, meskipun terkadang sulit untuk membedakannya dari akun asli. Berikut beberapa ciri-ciri yang sering ditemukan pada akun buzzer:

Aktivitas dan Perilaku:

Volume Posting Tinggi: Akun buzzer cenderung sangat aktif, memposting atau me-retweet konten dalam jumlah besar dalam periode waktu singkat, terutama terkait isu atau produk tertentu.

Fokus pada Topik Tertentu: Akun seringkali hanya berfokus pada satu topik atau isu tertentu, jarang membahas hal lain.

Konsisten dengan Pesan Tertentu: Akun buzzer secara konsisten mempromosikan atau mendukung pandangan, produk, atau individu tertentu. Mereka jarang mengkritik atau memberikan pandangan netral.

Kurangnya Interaksi Asli: Interaksi seringkali bersifat superficial (dangkal) dan otomatis, seperti hanya me-retweet atau menyukai tanpa memberikan komentar yang berarti.

Pola Aktivitas yang Mencurigakan: Aktivitas akun mungkin menunjukkan pola yang tidak alami, seperti lonjakan aktivitas yang tiba-tiba atau aktivitas yang terkoordinasi dengan akun lain.

Penggunaan Tagar (Hashtag) yang Berlebihan: Akun sering menggunakan banyak tagar yang relevan dengan kampanye atau isu tertentu untuk meningkatkan visibilitas.

Komentar/Balasan Seragam: Jika memberikan komentar atau balasan, seringkali menggunakan kalimat yang hampir sama atau memiliki nada yang seragam dengan akun lain yang diduga buzzer.

Profil Akun:

Informasi Profil Tidak Lengkap atau Fiktif: Akun mungkin menggunakan nama samaran, foto profil palsu, atau informasi profil yang tidak lengkap atau tidak konsisten.

Jumlah Pengikut (Followers) yang Tidak Wajar: Akun mungkin memiliki banyak pengikut, tetapi sedikit interaksi (likes, komentar, retweet), atau pengikutnya adalah akun-akun mencurigakan atau tidak aktif.

Tanggal Pembuatan Akun Baru: Akun buzzer seringkali baru dibuat dalam waktu dekat, terutama menjelang kampanye atau isu tertentu.

Nama Pengguna yang Aneh atau Generik: Nama pengguna mungkin terdiri dari rangkaian angka dan huruf acak atau menggunakan nama generik.

Tidak Ada Konten Pribadi: Akun jarang berbagi informasi pribadi atau konten yang menunjukkan kepribadian individu.

Konten:

Promosi Berlebihan: Akun terus-menerus mempromosikan produk, layanan, atau individu tertentu tanpa henti.

Bahasa yang Emosional atau Provokatif: Akun sering menggunakan bahasa yang emosional, provokatif, atau bahkan agresif untuk memengaruhi opini publik.

BACA JUGA :  Buktikan Janjinya Puluhan LSM Dan Ormas Laporkan Balik PT Baramarta Ke Ditreskrimsus Polda Kalsel

Berita atau Informasi yang Tidak Akurat: Menyebarkan berita yang belum terverifikasi atau informasi yang bias untuk kepentingan tertentu.

Hal Penting untuk Diingat:

Tidak Semua Akun dengan Ciri-Ciri Ini Adalah Buzzer: Beberapa orang atau organisasi mungkin memiliki karakteristik tersebut tanpa menjadi bagian dari kampanye terkoordinasi.

Buzzer Semakin Canggih: Buzzer modern semakin canggih dalam menyembunyikan identitas mereka dan meniru perilaku pengguna asli.

Penting untuk menganalisis beberapa ciri sekaligus untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat. Jangan langsung membuat kesimpulan hanya berdasarkan satu atau dua ciri saja. Sikap kritis dan kemampuan untuk memverifikasi informasi adalah kunci untuk menghindari pengaruh negatif dari akun buzzer.

Buzzer dalam Lanskap Media Sosial dan Politik Indonesia (dikutip dari journal.sgd.ac.id).

Kemunculan buzzer dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan pesat media sosial. Mereka memainkan peran signifikan dalam membentuk opini dan mengarahkan percakapan daring. Saat ini, objek promosi buzzer telah bergeser, dari yang semula fokus pada pemasaran produk komersial perusahaan, kini merambah ke tokoh publik yang mencalonkan diri sebagai pemimpin pemerintahan.

Dalam konteks politik, buzzer bertugas membangun dukungan publik bagi kandidat yang sedang berkampanye. Kontestasi politik di Indonesia menjadikan media sosial sebagai platform penting untuk menyebarkan pesan kampanye. Dalam penelitian ini, buzzer politik didefinisikan sebagai akun media sosial, baik yang dikelola individu maupun perusahaan, yang memiliki banyak pengikut dan aktif melakukan kampanye politik. Praktik ini seringkali melibatkan penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (Mustika, 2019; Syahputra, 2017).

Peran buzzer dalam membentuk persepsi publik selama kampanye politik telah menjadi perhatian global. Bradshaw & Howard (2019) dalam penelitian mereka menemukan bahwa penggunaan buzzer dalam konteks politik sudah meluas di berbagai negara. Sebanyak 89% dari 70 negara yang menjadi subjek penelitian menggunakan buzzer untuk menyerang lawan politik. Di Indonesia, politisi dan partai politik memanfaatkan buzzer untuk membangun opini dan dukungan publik terhadap calon pemimpin tertentu. Kecenderungan yang diamati adalah buzzer Indonesia membangun topik pembicaraan dengan menggunakan akun-akun palsu yang dikendalikan oleh manusia maupun bot dalam jumlah besar. Tujuannya adalah menciptakan dan menyebarkan konten yang bersifat misinformasi dan disinformasi. Masifnya pesan yang diproduksi buzzer menyebabkan topik tersebut menjadi trending topic di media sosial.

Di Indonesia, buzzer juga digunakan oleh tokoh publik yang berkuasa untuk mempertahankan kekuasaan. Regulasi sering kali dimanfaatkan sebagai alat untuk melindungi diri dari pencemaran nama baik. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dinilai sebagai instrumen yang digunakan pemerintah untuk melumpuhkan buzzer lawan politik. Bahkan, aparat negara kerap menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE. Dari perspektif kritis, kondisi ini tidak hanya dipandang sebagai dampak dari kemunculan media sosial, melainkan juga melibatkan aktor-aktor yang saling terhubung untuk mempertahankan kepentingan masing-masing.

Beberapa penelitian sebelumnya telah mengkaji peran buzzer dalam kampanye politik dengan berbagai konteks dan teori. Jati (2017) menyatakan bahwa kelas menengah menjadi target kampanye politik buzzer maupun influencer karena keaktifan mereka dalam menyebarkan konten di media sosial.

Idris (2018) memetakan jaringan sosial yang terbentuk dalam percakapan dengan tagar #DukungGermas yang diinisiasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Ia juga menemukan bahwa penggunaan buzzer tidak membangun komunikasi dua arah saat terjadi krisis dan cenderung merusak reputasi organisasi.

Saraswati (2018) dalam kajiannya tentang media sosial dan industri kampanye politik di Indonesia, menyatakan bahwa kampanye politik memerlukan dukungan kekuatan ekonomi untuk menggerakkan industri kampanye dan telah terjadi komodifikasi media sosial sebagai sarana kampanye. Felicia (2019) dalam studi kasusnya menyimpulkan bahwa buzzer dengan imbalan tertentu berperan memperluas jangkauan informasi melalui retweet dan penggunaan tagar, sehingga menjadi trending topic dan terlihat oleh pengguna media sosial.