Fakultas Kehutanan ULM Gelar Diskusi Ilmiah Tentang Banjir Di Kalsel dan Tawarkan Solusi Agar Bencana Ini Tidak Terus Terjadi, Termasuk Penghentian Deforestasi Hutan, Senin (8/2 /2021).
Deforestasi hutan tidak dipungkiri sebagai penyebab terjadinya bencana banjir di sejumlah daerah di Kalsel selain dampak dari cuaca ekstrim. Hal ini terungkap dalam diskusi ilmiah digelar secara virtual Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Kegiatan diskusi ilmiah yang mengusung tema “Banjir Kalsel, Permasalahan dan Solusinya “melalui Zoom Meeting ini berlangsung seru. Sejumlah narasumber memaparkan persoalan banjir di Kalsel dan kaitannya kerusakan hutan (Deforestasi) yang telah terjadi sejak lama.
Peserta yang mengikuti diskusi ilmiah yang digelar Fakultas Kehutanan ULM memcapai 450 orang lebih. Para peserta ini berasal dari berbagai perguruan tinggi, fakultas, instansi pemerintah, swasta, bahkan dari luar daerah, seperti Pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
Narasumber, Prof. Dr.Ir.Syarifudin Kadir,M.Si dalam diskusi ilmiah ini menyampaikan tentang “Pengendalian Kerawanan Banjir Berdasarkan Daerah Tangkapan Air di Kalsel. Sedangkan Prof.Dr.Ir.Yudi Firmanul Arifin,M.Sc menyampaikan memaparkan “Urgensi Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berbasis Polikultur sebagai Solusi Banjir.
Kemudian, Dr.Suyanto,M.P menyampaikan tema Perubahan Fungsi Hutan dan Lahan di Kalsel, dan Dr.Ir.Jauhari,MP menyampaikan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Secara Lestari sebagai Solusi Banjir. Selanjutnya, Syamani,S.Hut,M.Sc menyampaikan tema Pratinjau Geospasial Banjir di Kalsel.
Dr.Suyanto,M.P saat diminta komentarnya terkait tata kelola hutan dan banjir menyatakan, bahwa telah terjadi deforestasi hutan yang luar biasa di Kalsel. Hal itu, ungkapnya menjadi penyebab utama terjadinya banjir di Kalsel, selain dari dampak cuaca ekstrim.
Menurutnya, memang ada gerakan upaya reforestasi dan gerakan revolusi hijau, tetapi tidak sebanding dengan deforestasi yang terjadi. Untuk itu sangat penting sekali untuk menjaga dan mengembalikan fungsi hutan, termasuk untuk mencegah banjir.
“Reforestasi (mengembalikan hutan) itu perlu waktu yang lama baru akan ada hasilnya, tetapi kerusakan hutan akibat aneka keperluan terus berlangsung, bahkan mencapai 5 ribu hektar per tahun,” jelasnya, Senin (8/2021).
Pembalakan liar, perambahan hutan, usaha pertambangan, perkebunan sawit, pertanian, perumahan, kata Suyanto punya andil terjadinya deforestasi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu komitmen yang kuat dari kepala daerah dan juga penegakan hukum.
“Komitmen kuat kepala daerah sangat penting menjaga hutan yang masih tersisa untuk atasi bencana banjir, Misalnya, hutan di Kabupaten Tabalong, HST, HSS, dan Kotabaru. Tinjau kembali izin pengelolaan hutan, moratorium, dan juga penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan,”tegas Suyanto.
Terpisah, Dr.Hafizianor,S.Hut,M.P selaku Wakil Dekan Akademik Fahutan ULM, moderator acara Diskusi Ilmiah Banjir Kalsel menyampaikan, bahwa diskusi yang pihaknya gelar merupakan tahap awal keterlibatan Fakultas Kehutanan secara kelembagaan. Hal ini salah satu bentuk kontribusi dari segi ilmu pengetahuan untuk memecahkan permasalahan banjir di Kalsel.
“Untuk jangka panjang dari perspektif kehutanan dan kami akan melanjutkan dengan upaya solutif berikutnya. Hal itu sesuai dengan kapasitas SDM Fahutan ULM sebagai akademisi dengan Tridharma Perguruan Tingginya, yakni Pendidikan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat,” ungkap Hafiz.
Berikut kesimpulan yang dipaparkan
Dr. H. M. Kissinger, S.Hut, M.Si (Dekan Fahutan ULM) tentang penyebab banjir, diantaranya :
1. Kondisi landscape kita dengan cekungan yg cukup luas (Cekungan Barito dan Cekungan Asam Asam) berada
dibawah pegunungan meratus.
2. Kondis pegunungan dan cekungan juga sudah sangat terganggu fungsinya.
3. Rawa gambut yang berada di Cekungan Barito dan Asam Asam sebagai penyimpan air 3-10 kali dari tanah biasa semakin menyempit, luas dan kualitasnya (perlu data terbaru).
3. Daya tampung sungai2 yg terus mendangkal dan menyempit tidak mampu menampung beban puncak
luapan sungai disaat curah hujan tinggi.
4. Penyumbatan saluran air dan sungai akibat bangunan jalan, bangunan fisik, sampah belum teratasi.
5. Infrastruktur pengairan lebih fokus untuk distribusi air pertanian disaat normal saja.
Solusi besarnya:
1. Pendekatan utama mengarah pada biofisikimia dan sosial.
2. Perencanaan pmbuatan bendungan daerah hulu yang memang harus ditangani secara fisik (teknik sipil).
3. Pelebaran dan pendalaman sungai (revitalisasi sungai dan saluran air).
4. Pembersihan rutin sampah sungai dan saluran air.
5. Pengembalian fungsi rawa gambut yang selama ini hilang ( bisa dihitung neraca airnya hingga bisa
didapat luasan minimal gambut yang harus tersisa).
6. Sosialisasi dan Edukasi yang terus menerus dan berkelanjutan.
7. Pengurangan aktivitas penebangan liar dan penambangan sistem open pit di daerah hulu.
8. Pelibatan sektor swasta untuk mmbantu pmbenahan sistem tata air (paling tidak dalam skala lokal).
9. Pngembangan deteksi dini sebelum potensi banjir yang melibatkan para pihak.
Pemaparan Prof. Yudi Firmanul Arifin (Guru Besar Ekologi Kehutanan Fahutan ULM :
1) Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya banjir (11 faktor), namun paling utama dalam kasus di Kalsel, yakni cuaca ekstrem, banyaknya alih fungsi lahan, dan banyaknya lahan terlantar (terbuka) dan tidak
dilakukan rehabilitasi, dan persoalan tata ruang yang salah.
2) pengedalian terhadap banjir dapat dilakukan dengan cara:
– pengembangan biopori terhadap lahan yang kesuburan sangat rendah (untuk peningkatan kesuburan dan
peningkatan resapan air).
– pengembangan pola agroforestri pada hutan rakyat.
– pengembangan polikultur pada lahan – lahan hutan rakyat dan juga kelapa sawit.
– reklamasi dan revegetasi pada lahan – lahan pasca tambang dengan cara yang tepat sesuai kondisi lahan dan
penanaman secara mix kombinasi berbagai jenis.
– pemilihan jenis harus memperhatikan kondisi kesuburan dan keterbukaan lahan.