Deforestasi, Tambang, dan Sawit Membebani Kalsel, WALHI Paparkan Fakta Suram 2025
KBK.News, BANJARBARU – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menilai kondisi lingkungan hidup dan demokrasi sepanjang tahun 2025 berada dalam fase krisis multidimensi. Degradasi lingkungan yang masif, konflik agraria, hingga kriminalisasi warga dan pejuang lingkungan menjadi gambaran suram situasi akhir tahun di Kalimantan Selatan.
Penilaian tersebut disampaikan Direktur WALHI Kalsel Raden Rafiq bersama Jefry Raharja, penanggung jawab kampanye lingkungan WALHI Kalsel, dalam kegiatan Catatan Akhir Tahun WALHI Kalsel yang digelar di Banjarbaru, Senin (22/12/2025).
Raden Rafiq menyebut, arah kebijakan nasional yang semakin sentralistik berpotensi melanggengkan dominasi modal sekaligus mempercepat kerusakan lingkungan, khususnya di Kalimantan Selatan. Salah satu kebijakan yang disorot adalah rencana pengalokasian 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi yang diumumkan Kementerian Kehutanan pada akhir 2024.
“Proyek ini menyasar hutan lindung, hutan produksi, wilayah PBPH, hingga kawasan perhutanan sosial. Ini membuka bab baru pengulangan deforestasi dan menjadi ancaman serius bagi daya dukung lingkungan,” ujar Raden Rafiq.
Berdasarkan catatan WALHI Kalsel, sisa tutupan hutan primer di Kalimantan Selatan kini hanya 49.958 hektare dari total luas wilayah sekitar 3,7 juta hektare. Angka tersebut dinilai tidak sebanding dengan beban perizinan industri ekstraktif yang terus membesar.
Jefry Raharja memaparkan, luas izin PBPH di Kalsel mencapai 722.895 hektare, WIUP pertambangan seluas 559.080 hektare, serta HGU perkebunan sawit sebesar 645.612 hektare.
“Jika ditotal, beban izin industri ekstraktif ini mencapai 51,57 persen wilayah Kalimantan Selatan. Ini adalah proyeksi kiamat ekologis,” kata Jefry.
Dalam catatan advokasinya, WALHI Kalsel juga menyoroti dugaan pelanggaran lingkungan dan konflik sosial akibat aktivitas pertambangan. Salah satu kasus yang disorot adalah operasi PT Merge Mining Industri (MMI) di Desa Rantau Bakula, Kabupaten Banjar. Aktivitas tambang bawah tanah tersebut diduga menimbulkan pencemaran air, kebisingan, debu, hingga keretakan rumah warga.
Selain dampak lingkungan, WALHI Kalsel mencatat adanya kriminalisasi dan dugaan kekerasan terhadap warga. Kasus yang disorot antara lain kriminalisasi terhadap Sumardi (64), seorang petani yang mempertahankan kebunnya, serta dugaan penganiayaan terhadap Sugiarto (30), warga dengan gangguan jiwa (ODGJ).
“Ini menjadi rapor merah bagi pemerintah daerah dalam melindungi warga, terutama kelompok rentan dan marjinal,” tegas Raden Rafiq.
Di bidang penegakan hukum, WALHI Kalsel bersama 16 Eksekutif Daerah WALHI lainnya telah melaporkan empat perusahaan ke Kejaksaan Agung, yakni PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), PT Palmina Utama, PT Putra Bangun Bersama (Julong Group), dan PT Merge Mining Industri (MMI). Laporan tersebut terkait dugaan korupsi sumber daya alam dan konflik agraria.
WALHI juga menyoroti meningkatnya intimidasi terhadap pejuang lingkungan. Di Kalimantan Selatan, sejumlah aktivis disebut mengalami ancaman, doxing, hingga kriminalisasi. Beberapa korban konflik agraria yang meninggal dunia, seperti Sabriansyah, Jurkani, dan Arbaini, disebut sebagai martir lingkungan.
“Padahal undang-undang dengan tegas menjamin bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dipidana,” ujar Jefry Raharja.
Terkait transisi energi, WALHI Kalsel menilai praktik co-firing PLTU berbasis pellet kayu sebagai solusi palsu. Kebijakan tersebut dinilai justru mendorong deforestasi dan memperparah krisis kesehatan masyarakat. Riset WALHI di sekitar PLTU Tabalong dan Tanah Laut mencatat ISPA sebagai keluhan kesehatan tertinggi warga.
Selain itu, usulan Taman Nasional Meratus juga dinilai berpotensi menyingkirkan masyarakat adat. Sekitar 52,84 persen wilayah adat Meratus masuk dalam kawasan usulan taman nasional tersebut.
“Konservasi yang menyingkirkan masyarakat adat adalah kolonialisme gaya baru. Fakta global menunjukkan 70 persen hutan alami justru dijaga oleh rakyat,” kata Raden Rafiq.
Menutup refleksi akhir tahun, WALHI Kalsel menegaskan bahwa berbagai bencana ekologis yang terjadi bukan semata faktor alam, melainkan akibat kegagalan sistem kebijakan dan tata kelola lingkungan.
“Nasib Kalimantan Selatan ke depan sangat ditentukan oleh keberanian bersama untuk menghentikan eksploitasi dan memperjuangkan keadilan ekologis,” pungkasnya. (Masruni)
