Site icon Kantor Berita Kalimantan

Denny Indrayana Nilai Putusan MK Atas UU Cipta Kerja Ambigu

Prof Denny Indrayana, Kuasa Hukum Partai Bulan Bintang (PBB).

Melbourne – Pakar hukum tata negara Prof Denny Indrayana menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Ciptaker ambigu, Jumat (26/11/2021).

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (“Putusan MK 91”) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”) yang pada dasarnya menyatakan undang-undang tersebut inkonstitusional bersyarat segera menjadi perbincangan bahkan perdebatan publik. Bagaimana memahami Putusan 91 yang dibacakan pada Kamis, 25 November 2021 tersebut?

Memang tidak terhindarkan setiap putusan akan mengundang perbedaan interpretasi dan perdebatan. Namun, seperti dalam banyak putusan yang coba mengakomodir berbagai kepentingan dan mencari jalan tengah, akhirnya Putusan MK menjadi ambigu dan terkesan tidak konsisten, dan akan menimbulkan perselisihan dalam implementasinya.

Melakukan uji formil dengan Putusan MK 91—yaitu menilai keabsahan prosedur pembuatan undang-undang—bukan terkait isinya, Mahkamah pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang. Namun, karena alasan memahami alasan “obesitas regulasi” dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi permakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama 2 (dua) tahun. Jika dalam dua tahun itu tidak dilakukan pembuatan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional secara permanen.

Ambiguitas yang pertama, karena UU Ciptaker yang tegas-tegas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, masih diberi ruang untuk berlaku selama dua tahun, di antaranya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan. Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku.

Ambiguitas kedua, berkait dengan putusan-putusan yang kemarin dikeluarkan MK tentang UU Ciptaker. Dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 (sepuluh) di antaranya “kehilangan objek” karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal selama 2 (dua) tahun. Sehingga bagaimanapun ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut. Tegasnya, UU Ciptaker mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi tidak konsisten alias ambigu ketika dikatakan “kehilangan objek” untuk diuji isi UU tersebut.

Ambiguitas ketiga, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK menimbulkan multi tafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak. Ada dua kubu yang berbeda pendapat. Satu pihak berpandangan UU Ciptaker masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun. Pihak lain berpendapat UU Ciptaker tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali. Atas dua pendapat itu, sebenarnya MK telah mencoba memberikan kejelasan pada paragraph 3.20.5 bahwa, meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Ciptaker yang “strategis dan berdampak luas … agar ditangguhkan terlebih dahulu”, demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”. Lebih jauh, tidak pula “dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru”. Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan “strategis” dan “berdampak luas”.

Lebih jauh, dengan pertimbangan 3.20.5 MK secara interpretasi terbalik (a contra rio) MK memberi ruang bagi berlakunya UU Ciptaker, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Ciptaker itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Ciptaker yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya TIDAK ADA, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ADA, untuk apa pula UU Ciptaker masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas. Padahal uji formil telah menegaskan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945? Apakah itu berarti MK mentoleransi suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas?

Ambiguitas Keempat, dalam Putusan MK 91 ini Mahkamah terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan undang-undang, termasuk dengan sangat baik mengkritisi minimnya ruang partisipasi publik dalam lahirnya UU Ciptaker. Namun, sayangnya MK tidak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan Undang-Undang KPK dan perubahan Undang-Undang Minerba, yang juga super kilat dan senyatanya menihilkan public participation. Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itupun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Apapun, Putusan MK 91 sudah final dan berkekuatan hukum tetap (final and binding) dan harus dihormati. Maka, sekarang solusinya adalah pembuat undang-undang (Presiden, DPR, dan DPD) untuk segera melakukan perubahan atas Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, yang mengadopsi metode sapu jagat (omnibus law), sehingga bisa menjadi landasan baku perbaikan UU Ciptaker. Lebih penting lagi, materi UU Ciptaker juga harus sesuai dengan aspirasi kepentingan publik, bukan mengabdi pada kepentingan investasi semata yang menegasikan daulat dan hati rakyat pemilik Republik.

Exit mobile version