BANJARMASIN – Bupati HSU nonaktif Abdul Wahid dalam kesaksiannya bantah semua pengakuan para terdakwa dan bukti pada kasus korupsi komitmen fee proyek di Dinas PUPRP HSU, Rabu (9/3/2022).
Guna diminta keterangan dan kesaksiannya Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif didatangkan langsung dari tahanan KPK di Jakarta ke PN Tipikor Banjarmasin. Ia dihadirkan sebagai saksi atas terdakwa mantan Plt Kadis PUPRP HSU, Maliki yang juga dihadirkan secara langsung.
Saat persidangan berjalan, Abdul Wahid dicecar Jaksa KPK dengan sejumlah pertanyaan terkait perannya dalam kasus korupsi komitmen fee proyek di Dinas PUPRP HSU.
Pada kesempatan ini Bupati HSU nonaktif mengakui memang perintah untuk plotting (penjatahan) proyek berasal dari dirinya. Hal ini berupa bagi perusahaan kontraktor yang telah setor fee atau menyepakati komitmen fee besaran 10-15 persen.
“Memang dari saya. Tapi saya perintahkan kepada kepala bidang (kabid) di Dinas PUPRP HSU agar kontraktor yang dapat proyek bekerja sesuai aturan,” jelasnya.
Wahid pada kesempatan ini membantah, kalau dirinya yang meminta langsung fee proyek kepada kontraktor pemenang tender. Ia juga menyatakan pengakuan Maliki tidak benar tentang syarat untuk jadi pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas PUPRP HSU harus setor Rp 500 juta.
“Itu tidak benar! Saya hanya menerima uang dari Maliki, karena itu memang uang honor saya,” ungkapnya dihadapan hakim ketua Jamser Simanjuntak dan kepada jaksa KPK.
Kemudian Jaksa KPK Tito Jaelani dan Muhammad Ridwan juga mengkonfrontir pengakuan dari Marwoto (Kabid Bina Marga) dan Abraham Radi (Kabid Cipta Karya), bahwa selain dari Maliki, Wahid juga menerima uang setoran melalui ajudannya, Abdul Latif.
“Uang itu diletakkan di atas meja kerja Anda?” kata jaksa Tito Jaelani.
“Saya tidak tahu, uang darimana itu,” ucap Wahid.
Soal pertemuan tengah malam antara Wahid, Marwoto, Abraham Radi dan Maliki di kediaman Bupati HSU di Amuntai juga dibeber jaksa KPK.
“Pertemuan itu juga membahas soal komitmen fee?” cecar jaksa.
“Tidak ada, hanya membagi anggaran saja. Tidak ada pembahasan komitmen fee. Itu menjadi urusan semua kabid di PUPRP HSU,” bantah Abdul Wahid.
Namun, kata Wahid, perintahnya untuk menggalang dana melalui Marwoto, pejabat Dinas PUPRP HSU kepada para kontraktor adalah untuk uang lobi ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di Jakarta.
“Uang dari para kontraktor itu dikumpulkan agar Pemkab HSU dapat tambahan anggaran dari Kementerian Keuangan. Itu terjadi sejak 2019,” jelas Wahid.
Soal siapa pejabat Kemenkeu yang kecipratan jatah uang lobi sebesar 3 persen, Wahid mengaku lupa namanya.
“Tapi, yang bersangkutan (pejabat Kemenkeu) itu mengambil langsung dari saya untuk tambahan anggaran (dana alokasi khusus),” kata Wahid.
Mengenai adanya temuan uang sebesar Rp 3 miliar saat OTT KPK di rumah dinasnya, ia mengaku tidak tahu.
“Saya tidak pernah menghitung, tapi uangnya darimana?” kata Wahid.
Dikonfrontir soal pengakuan sang ajudan Abdul Latif dan kontraktor Ahmad Syarif sebesar Rp3 miliar, dijawab Wahid lagi-lagi tidak tahu.
“Saya sudah tadi disumpah. Sepengetahuan saya, tidak tahu darimana uangnya, siapa yang mengantar. Ajudan saya bilang dari PUPRP HSU, tapi entah dari siapa. Saya tidak percaya ada komitmen fee 15 persen,” bantah Bupati HSU nonaktif ini.
Jaksa KPK Tito dan Ridwan pun terus memberondong Wahid tentang 33 item yang ditemukan penyidik KPK pada penggeledahan di rumah dinasnya, termasuk uang Rp 3 miliar dan dalam bentuk US Dollar.
“Nah, kalau uang Rp 100 juta memang benar ada. Tapi itu uang dari sisa honor dan sisa perjalanan dinas saya. Untuk uang Rp 3 miliar itu, saya tidak tahu,” jawabnya.
Setelah selesai sidang selama 6 Jam di PN Tipikor Banjarmasin, Abdul Wahid kembali dibawa terbang ke Jakarta untuk menjalani tahanan KPK.