Site icon Kantor Berita Kalimantan

Fenomena Pilkada Banjarbaru Kasus Spesifik

Fenomena Pilkada Banjarbaru Adalah Sebuah Kasus Spesifik

Oleh :  Pakar Hukum Unair DR Wayan Suka

Dikte hukum atas politik adalah salah satu kata pendek dari gagasan negara hukum sejalan dengan dikte konstitusi atas demokrasi dalam istilah demokrasi konstitusional. Tema sentralnya adalah “validitas” atau “keabsahan” setiap proses politik berdasarkan dikte otoritas legal.

Termasuk keabsahan penyelenggaraan pilkada 2024 Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dengan demikian seharusnya diawali dengan salah satu proposisi norma hukum paling dasar, yaitu bahwa “setiap pelanggar hukum tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah.”

Statutory law (UU Pilkada) diantaranya mentransform norma hukum tersebut sebagai mekanisme diskualifikasi, yaitu bahwa setiap pasangan calon kepala daerah yang melanggar hukum dapat bahkan harus didiskualifikasi keikutsertaannya in casu sebagai pasangan calon kepala daerah.

Argumen bahwa penyelenggaraan pilkada Kota Banjarbaru adalah tidak sah (inkonstitusional) karena KPUD setelah melakukan diskualifikasi terhadap salah satu pasangan calon meneruskan proses pemilihan bukan melalui mekanisme “calon tunggal” melainkan tetap mencantumkan dalam surat suara pasangan calon yang telah didiskualifikasi berhadapan dengan pasangan calon yang tidak didiskualifikasi serta selanjutnya menyatakan sebagai tidak sah seluruh perolehan suara pasangan calon terdiskualifikasi, adalah tidak tepat misalnya berdasarkan beberapa alasan:

1. Tempus dilakukannya diskualifikasi yang defakto tidak memungkinkan KPUD untuk mencetak format surat suara menurut mekanisme “calon tunggal”, demikian juga pertimbangan efisiensi anggaran, adalah beberapa situasi bersifat khusus yang melingkupi pilkada Banjarbaru;

2. Selain dapat dibenarkan menurut doktrin equity, situasi khusus/spesifik tersebut dengan demikian adalah alasan sah untuk tidak menerapkan mekanisme calon tunggal sebagaimana diatur oleh “the system of rules” sejalan dengan pernyataan “rules are not enough”;

3. Akontrario sebagai konsekuensi lebih jauh dari situasi khusus/spesifik tersebut diatas, penerapan mekanisme berbeda oleh KPUD in casu melanjutkan proses pemilihan dengan tetap mencantumkan nama pasangan calon yang terdiskualifikasi serta menyatakan tidak sah perolehan suara dari pasangan calon yang sebelumnya telah terdiskualifikasi, walaupun hal ini tidak eksplisit diatur oleh atau dalam “the system of rules”, bukan berarti “tidak boleh”;

4. Telah diberitahukan/diumumkannya oleh KPUD pasangan calon terdiskualifikasi kepada setiap pemilih sebelum mereka menggunakan hak pilih menyebabkan sah pernyataan tidak sah KPUD terhadap surat suara yang diperoleh pasangan calon terdiskualifikasi;

5. In casu, misalnya dengan dipilihnya kotak kosong oleh para pemilih pasangan calon yang terdiskualifikasi, mekanisme calon tunggal justru memungkinkan pasangan calon tak terdiskualifikasi dapat dikalahkan oleh pasangan calon yang justru terdiskualifikasi;

6. Kekalahan pasangan calon tak terdiskualifikasi oleh pasangan calon terdiskualifikasi adalah nama lain dari dominasi politik atas hukum, setidaknya dominasi demokrasi atas legal;

KPUD terlihat telah bekerja tidak hanya menurut the system of rules melainkan juga menurut “the system of principle”—”setiap orang yang melanggar hukum tidak boleh mencalonkan diri”. Hal ini kontras dengan argumen-argumen kontra-legal yang menginginkan sebagai “sah” perolehan suara atas pasangan calon terdiskualifikasi menurut mekanisme pemilihan calon tunggal, atau argumen-argumen kontra-konstitusi yang simplistis dan dangkal justru mendalilkan inkonstitusional penerapan mekanisme pemilihan menurut “the system of principle” diatas. Nama lain dari model-model argumen ini adalah menyatakan “sah” atas sesuatu yang “tidak sah”, dan bahwa pernyataan “sah” adalah “sah” hanya menurut aturan enumeratif the system of rules.

Exit mobile version