JAKARTA – Gugatan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI bersama dengan Partai Bulan Bintang (PBB) ke Mahkamah Konstitusi (MK) mulai disidangkan dengan agenda Pemeriksaan Pendahuluan, Selasa (26/4/2022).
Seusai persidangan, Ketua DPD, AA Lanyalla Mahmud Mattalitti mengatakan, bahwa gugatan yang didasarkan pada keputusan bulat rapat paripurna DPD. Hal itu bertujuan untuk menyelamatkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat agar tidak dibajak oleh oligarki, dicengkeram oleh kekuatan uang atau duitokrasi dan menghindari monopoli partai.
Menurut La Nyalla, demokrasi di Indonesia harus diselamatkan dari cengkeraman oligarki partai politik dan kekuatan uang atau duitokrasi. Salah satu caranya dengan menguji presidential threshold ini ke MK agar semakin banyak mendapatkan alternatif calon presiden.
“Semakin banyak alternatif pasangan calon, maka peluang Presiden dan Wakil Presiden terpilih dikendalikan oligarki semakin menipis,” tegas mantan ketua PSSI ini.
Sejalan dengan DPD, PBB yang digawangi oleh Yusril Ihza Mahendra juga berpandangan, bahwa eksistensi syarat pencalonan presiden 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah pada Pemilu anggota DPR sebelumnya telah melanggar hak konstitusional PBB dalam mengusung pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Terkait hal tersebut Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang, Afriansyah Noor menyatakan, bahwa hak konstitusional dalam mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden diberikan oleh UUD 1945 kepada seluruh partai politik. Terlepas, partai politik dimaksud memiliki kursi di DPR, partai politik nonparlemen, partai politik lama, bahkan partai politik baru sekalipun.
Karena itu, kata Afriansyah, batasan yang diberikan konstitusi adalah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa adanya embel-embel perolehan suara.
“Semestinya Pemilu dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip Electoral Justice. Presidential Threshold yang diberlakukan sekarang berdampak negatif, karena memberikan perlakuan berbeda (diskriminatif) kepada partai politik. PBB yang telah berdiri dan berjuang sejak masa reformasi merasa seperti diasingkan akibat keberadaan Pasal 222 UU Pemilu tersebut”, pungkas Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Noor.
Kemudian kuasa hukum dari PBB, Denny Indrayana menambahkan, meskipun telah terdapat 19 putusan pengujian materiil Pasal 222 UU Pemilu di MK, namun hanya ada 3 putusan yang pokok perkaranya dipertimbangkan. Para Pemohon yang diwakilinya mengajukan permohonan dengan batu uji yang berbeda dari 3 permohonan sebelumnya.
Menurut Denny Indrayana, setidaknya terdapat 10 alasan permohonan berbeda dari alasan-alasan permohonan sebelumnya. Kalau mengacu pada Pasal 60 UU MK, maka MK berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan Para Pemohon.
“Dalam beberapa putusan sebelumnya MK tidak dapat menerima permohonan karena alasan legal standing. MK juga mengatakan pihak yang dapat menguji materiil presidential threshold adalah partai politik peserta Pemilu. Maka berdasarkan pada fakta, bahwa PBB adalah peserta Pemilu tahun 2019, maka minimal tidak ada alasan lagi bagi MK untuk menolak kedudukan hukum pemohon”, ungkap Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM periode 2011-2014.
Denny juga menegaskan, demokrasi atau daulat rakyat tidak boleh lagi dikalahkan oleh duitokrasi.
“Pemilihan langsung oleh rakyat harus diselamatkan agar tidak terus dikooptasi kekuatan-kekuatan oligarki yang koruptif. Demokrasi kita tidak boleh dibajak oleh kekuatan modal, maka presiden harus pilihan rakyat, bukan presiden pilihan uang,” pungkas
Kuasa Hukum Pemohon ini.