BANJARBARU – Sambut Hari Pangan Sedunia aktivis lingkungan di Kalsel soroti masih tingginya angka stunting di Kalsel dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan batu bara serta industri ekstraktif lainnya.
Sejumlah aktivis lingkungan seperti Walhi Kalsel, Lingkar Studi Ilmu Sosial Kerakyatan (LSISK), Sahabat Walhi, Lingkar Hijau Indonesia Mapala Graminea, Mapala Apache, Mahasiswa, dan sejumlah masyarakat sipil menggelar aksi di Bundaran Simpang 4 Banjarbaru. Aksi yang digelar dalam memperingati Hari Pangan Sedunia ini menyoroti sejumlah persoalan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ketersediaan pangan untuk rakyat, hingga tingginya angka stunting di Kalsel,Minggu (15/10/2022).
Koordinator aksi damai, Kisworo Dwi Cahyono yang juga Direktur Walhi Kalsel menyampaikan, Kalsel yang diharapkan menjadi paru – paru dunia kondisinya sekarang kritis serta krisis.
“Krisis yang dialami Kalsel disebabkan aktivitas industri ekstraktif dan menjadi bermuara terjadinya perubahan iklim global. Ini yang menjadi ancaman besar terhadap para petani dan nelayan kecil yang senantiasa menyediakan pangan kepada kita semua,” jelasnya.
Menurut Kisworo, momen hari pangan sedunia ini penting dan bukan hanya menjadi ajang seremonial saja. Seharusnya melalui momentum ini terbentuk keprihatinan pada nasib pangan yang kian hari terhimpit oleh industri pertambangan dan perkebunan monokultur besar seperti kelapa sawit.
Para aktivis lingkungan, beber Kisworo, menilai kebijakan pangan di Kalsel seperti dikesampingkan dengan alasan demi iklim investasi. Padahal secara umum Kalsel punya catatan buruk tentang persoalan pangan masyarakat.
” Kalsel menjadi urutan pertama yang rendah stunting ditengah eksploitasi besar-besaran tambang batubara dan perkebunan kelapa sawit,” tegasnya.
Belum lagi, perihal kebijakan terkait pertanian yang belum jelas secara kewilayahan, Cak Kiss menyebut karena posisi lahan pertanian sampai sekarang tidak jelas dimana lokasi lahan pertanian berkelanjutan.
“ Hal itu berbanding terbalik dengan ekspansi wilayah pertambangan batubara dan sawit yang manyandera lebih dari 50 persen wilayah Kalsel yang total luasnya 3,7 juta hektare,” paparnya.
“Indonesia dan Kalsel harusnya menjadi potret kedaulatan pangan, artinya semakin sedikit kita impor semakin tinggi juga daya produksi pangan kita. Selain itu, kebutuhan pokok masyarakat terkait gizi akan selalu terpenuhi tanpa ada rasa takut akan dampak stunting,” tandasnya.
Dalam aksi damai itu, para aktivis lingkungan menyampaikan 9 tuntutan sebagai berikut :
1. Mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan konflik pertanian dan perkebunan warga dengan perusahaan perusak lingkungan yang menyebabkan rusaknya lahan kelola rakyat.
2. Mendesak pemerintah untuk menurunkan harga pupuk dan segala macam obat baik pertanian maupun perkebunan serta memberikan akses yang mudah kepada petani.
3. Mendesak Gubernur Kalimantan Selatan untuk membuat regulasi yang jelas mengatur harga jual bahan pangan hasil dari perkebunan dan pertanian yang berpihak kepada para petani.
4. Mendesak pemerintah untuk melakukan perbaikan dan pemulihan kepada para petani yang lahannya terdampak bencana alam atau pun bencana yang dibuat oleh perusahaan perusak lingkungan.
5. Mabes Polri dan Kapolda Kalsel harus segera melakukan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, khususnya pertambangan dan perkebunan sawit, dan kejahatan lingkungan yang menimbulkan kerusakan pada lahan masyarakat.
6. Mendesak pemerintah untuk berkomitmen dan melaksanakan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas bahan pangan.
7. Pemerintah harus menghentikan izin baru pada korporat perusak lingkungan, izin sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan yang berakibat pada kelangkaan bahan pangan.
8. Perbaikan dan pemulihan kerusakan lingkungan termasuk sungai, drainase, jalan dan infrastruktur lainnya dan terkhusus lahan-lahan persawahan yang rusak akibat banjir.
9. Mengevaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk pro terhadap lingkungan dan kedaulatan pangan.