Oleh: Prof DR Halim ( Profesor dan Doktor Hukum )
Firma Hukum Idaman Justitia Banjarbaru
Dosen Hukum dan Manajemen RS
KBK.NEWS BANJARBARU – Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), ketentuan mengenai diskualifikasi pasangan calon (paslon) diatur dalam Pasal 71. Pasal ini melarang pejabat negara, pejabat daerah, dan pejabat aparatur sipil negara melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon, termasuk melakukan mutasi pejabat tanpa persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dalam jangka waktu tertentu sebelum penetapan paslon.
Apabila paslon terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal 71, mereka dapat dikenakan sanksi berupa pembatalan sebagai peserta pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini berarti, jika paslon tersebut didiskualifikasi, suara yang telah diberikan kepada mereka dianggap tidak sah dan tidak dihitung dalam penentuan hasil pemilihan.
Dengan demikian, meskipun paslon yang didiskualifikasi memperoleh suara terbanyak, suara mereka tidak dihitung, dan paslon dengan perolehan suara sah terbanyak berikutnya akan ditetapkan sebagai pemenang pemilihan.
Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Banjarbaru tahun 2024, pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah, didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru. Keputusan ini didasarkan pada rekomendasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kalimantan Selatan yang menilai paslon tersebut melakukan pelanggaran administratif sesuai Pasal 71 Ayat (3) dan Ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Akibat diskualifikasi ini, suara yang diberikan kepada paslon Aditya-Said Abdullah dianggap tidak sah dan tidak dihitung dalam penentuan hasil pemilihan. Dengan demikian, paslon nomor urut 1, Erna Lisa Halaby dan Wartono, yang menjadi satu-satunya paslon tersisa, secara otomatis ditetapkan sebagai pemenang Pilkada Kota Banjarbaru 2024.
Meskipun demikian, Said Abdullah tetap menggunakan hak pilihnya dan mengajak simpatisannya untuk menunjukkan dukungan, meskipun mengetahui bahwa suara yang diberikan kepada mereka tidak akan dihitung.
Kasus ini menegaskan bahwa dalam konteks Pilkada, jika suatu paslon didiskualifikasi, suara yang diberikan kepada mereka dianggap tidak sah. Oleh karena itu, paslon dengan perolehan suara sah terbanyak berikutnya akan ditetapkan sebagai pemenang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kota Banjarbaru tahun 2024, di mana pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin dan Said Abdullah, didiskualifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru, terdapat pertanyaan mengenai kewajiban KPU untuk mengganti surat suara dengan format kotak kosong.
Aturan Mengenai Paslon Tunggal dan Kotak Kosong:
Menurut Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2018, jika dalam suatu Pilkada hanya terdapat satu paslon yang memenuhi syarat, surat suara harus memuat dua kolom: satu kolom berisi foto paslon dan satu kolom kosong tanpa gambar. Hal ini memberikan pilihan kepada pemilih untuk memilih paslon atau kotak kosong.
Penerapan dalam Kasus Diskualifikasi:
Namun, dalam kasus Banjarbaru, diskualifikasi paslon nomor urut 2 terjadi setelah proses pencetakan dan distribusi surat suara selesai. Mengganti atau mencetak ulang surat suara dalam waktu singkat menjelang hari pemungutan suara akan menghadapi tantangan logistik dan anggaran yang signifikan.
Praktik yang Umum Dilakukan:
Dalam situasi serupa, KPU biasanya tetap menggunakan surat suara yang telah dicetak.
Pemilih tetap diberikan pilihan untuk mencoblos paslon yang tersisa.
Suara yang diberikan kepada paslon yang didiskualifikasi dianggap tidak sah dan tidak dihitung dalam penentuan hasil pemilihan.
Kesimpulan:
Meskipun secara ideal surat suara seharusnya menampilkan kotak kosong jika hanya ada satu paslon, dalam praktiknya, terutama jika diskualifikasi terjadi mendekati hari pemungutan suara, KPU tidak diwajibkan secara hukum untuk mencetak ulang surat suara dengan format kotak kosong.
Hal ini mempertimbangkan keterbatasan waktu, biaya, dan logistik.
Oleh karena itu, dalam kasus Banjarbaru, KPU kemungkinan besar tetap menggunakan surat suara yang ada tanpa menambahkan kotak kosong.
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), kewenangan untuk mendiskualifikasi pasangan calon (paslon) berada pada:
1. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
• Pasal 71 Ayat (5) UU Pilkada menyatakan bahwa pasangan calon dapat dibatalkan keikutsertaannya dalam pemilihan jika terbukti melanggar ketentuan tertentu, seperti penyalahgunaan wewenang, penggunaan fasilitas negara, atau politik uang.
• Keputusan pembatalan dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota atau KPU Provinsi (tergantung tingkat pemilihan) setelah adanya kajian dan bukti atas pelanggaran administratif atau pidana.
2. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
• Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan pemilihan dan menerima laporan dugaan pelanggaran.
• Jika Bawaslu menemukan bukti pelanggaran, mereka memberikan rekomendasi kepada KPU untuk mendiskualifikasi paslon.
• Contoh aturan:
• Pasal 143 Ayat (2) UU Pilkada: KPU wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu terkait pelanggaran administratif yang mengarah pada diskualifikasi.
3. Mahkamah Agung (MA)
• Jika paslon yang didiskualifikasi tidak menerima keputusan KPU, mereka dapat mengajukan upaya hukum melalui Mahkamah Agung.
• Pasal 154 UU Pilkada menyebutkan bahwa sengketa proses pemilihan (termasuk diskualifikasi) yang berkaitan dengan pelanggaran administratif dapat diajukan ke MA.
• Keputusan MA bersifat final dan mengikat.
Proses Diskualifikasi:
1. Laporan atau Temuan:
• Pelanggaran dilaporkan oleh masyarakat, peserta pemilu lain, atau ditemukan langsung oleh Bawaslu.
2. Pemeriksaan dan Rekomendasi Bawaslu:
• Bawaslu memeriksa laporan dan memberikan rekomendasi kepada KPU.
3. Keputusan KPU:
• KPU membuat keputusan diskualifikasi setelah memverifikasi laporan dan rekomendasi dari Bawaslu.
4. Upaya Hukum (Jika Ada):
• Paslon dapat mengajukan keberatan ke MA untuk sengketa proses pemilu.
Dengan demikian, kewenangan diskualifikasi secara langsung berada di tangan KPU berdasarkan rekomendasi Bawaslu, sedangkan penyelesaian akhir atas keberatan berada pada Mahkamah Agung.