Hasil survei dan polling abal-abal yang beredar saat tahapan pilkada sama bahayanya dengan kabar bohong atau hoax dan patut diwaspadai, Minggu (27/9/2020).
Memasuki tahapan pilkada sejumlah orang mengeluarkan hasilsurvei dan polling terhadap sejumlah paslon kepala daerah peserta pilkada serentak. Hasil survei yang mereka rilis, bahkan dimuat di media, bahkan juga ke medsos atau jejaring sosial.
Karena beredar luas survei tersebut, maka sebagian masyarakat bertanya kepada seorang wartawan tentang kebenaran hasil survei yang beredar. Diduga sebagian masyarakat ini mengira wartawan serba tahu informasi yang beredar.
“Benarkah Informasi, bahwa Paslon XYZ itu lebih tinggi elektabilitas (keterpilihan) seperti survei atau polling yang beredar,” tanya salah satu warga Kalsel.
Setelah diperhatikan hasil survei atau polling yang beredar, maka wartawan ini dengan santai saja menjawab.
“Wah ini hasil survei atau pollingnya, betul sekali, Pak. Tetapi, betul menurut si pembuat survei atau pemesannya,” jawab si wartawan.
Pertanyaan dan jawaban, bahkan persoalan seperti ini mungkin saja banyak terjadi di tengah masyarakat. Diduga hasil survei atau polling dari kelompok yang tidak punya legalitas atau tidak kredibel tersebut bertujuan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat di pilkada serentak di daerah.
Dilansir dari BBC.com Guru Besar Psikologi Politik, Prof Dr Hamdi Muluk, yang juga menjabat anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesi (Persepi), menyampaikan tentang survei abal -abal yang bisa menyesatkan dan bukannya menjadi panduan kepada masyarakat.
Menurut Prof Hamdi, studi
memperlihatkan publik sebenarnya tidak terlalu mudah untuk dipengaruhi oleh hasil survei, karena publik melakukan penilaian tentang pelaksana survei. menurutnya, publik (pemilih-red) tidak terlalu mudah untuk disetir.
Masih kata Prof Hamdi, bahwa tidak bisa dihindari, jika dalam sebuah pemilihan, misalnya, ada kandidat tertentu yang mencoba untuk memesan survei yang hasilnya ‘dipalsukan seolah-olah dia yang akan menang’.
Kemudian juga seperti dikutip dari tirto.id, Jorge Buendia, Direktur Global Fellow di Wilson Center’s Institute. Hasil Analisanya yang dikeluarkan Bulan April 2018 menyatakan, survei abal-abal ada, dipakai, dan pada akhirnya punya dampak yang sama berbahayanya dengan berita palsu (hoaks).
Melihat analisa para ahli politik tersebut, maka ada baiknya media tidak turut menyebarkan hasil survei atau polling yang tidak jelas metodologi-nya. Sebab, dikhawatirkan turut menyebarkan berita bohong atau hoax agar tidak menimbulkan kesan membodohi publik.
Penulis : Syahminan Alfarisi