YOGYAKARTA -Dalam Integrity Constitusional Discussion/ICD dibeberkan peluang pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo, pelemahan MK, UU Ciptaker, dan persoalan pemilu 2024, Jumat (6/1/2023).
Indrayana Center for Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm bekerjasama dengan pihak Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FH UMY) menyelenggarakan INTEGRITY Constitutional Discussion #8 (ICD #8) yang bertajuk “Pemilu 2024: Menuju Negara Hukum atau Negara Mafioso”. Diskusi rutin ini hadir sebagai wujud kontribusi INTEGRITY dan FH UMY dalam mengawal isu-isu hukum dan kebijakan publik aktual yang tengah berkembang di tanah air.
Acara yang dibuka oleh Dekan FH UMY, Iwan Satriawan mendiskusikan tentang polemik dan tantangan penegakan hukum di Indoenesia, termasuk isu pemilu untuk 2024. Narasumber yang hadir dalam diskusi ini, diantaranya Denny Indrayana, Senior partner INTEGRITY Law Firm dan Guru Besar Hukum Tata Negara; Titi Anggraini, Aktivis dan Pengamat Pemilu dan Demokrasi; Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara FH UGM; King Faisal Sulaiman, Dosen Hukum Tata Negara FH UMY; dan Muhamad Raziv Barokah, Senior Associate INTEGRITY Law Firm.
Mengawali diskusi sebagai pembicara kunci (keynote speaker), Denny Indrayana mengungkapkan argumentasi hukumnya soal peluang terjadinya pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi). Hal demikian, tidak terlepas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, yang secara substantif jelas bertentangan dengan Putusan MK 91/PUU-XVIII/2020.
“Tidak hormat terhadap putusan MK itu melanggar UUD 1945, karena MK adalah constitutional organ. Padahal sumpah jabatan (Pasal 9), mengatur harus melaksanakan UUD, dan melanggar UUD termasuk pengkhianatan terhadap negara sebagaimana diatur Penjelasan Pasal 169 huruf d UU Pemilu. Pelanggaran demikian merupakan salah satu dasar pemakzulan (impeachment articles) presiden menurut Pasal 7 UUD 1945,” ujar Denny Indrayana.
Selain Denny Indrayana, pembahasan yang juga menarik untuk disimak datang dari narasumber lain, yaitu Titi Anggraini. Materi yang dibawakan oleh Aktivis dan Pengamat Pemilu dan Demokrasi itu, mengenai “Pemilu 2024: Daulat Rakyat atau Daulat Uang”.
Menurut Titi Anggraini, Pemilu 2024 masih potensial dalam bayang-bayang politik uang. Bagaimana tidak, 1 dari 7 orang di 20 negara di dunia, termasuk di Indonesia, kerap ditawarkan uang untuk ditukarkan dengan suara mereka.
“Masa kampanye yang pendek (75 hari) menggoda caleg dan peserta pemilu untuk menggunakan qpolitik uang sebagai jalan pintas (by pass) untuk menang. Partai jelas-jelas membiarkan, karena juga berkepentingan untuk bisa lolos ambang batas parlemen atau memperoleh kursi,” ungkap Titi Anggraini.
Narasumber berikutnya hukum tata negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan tentang gejala domestikasi MK dan Aswantoisasi. Hal ini terkait Prof. Aswanto yang dicopot di tengah jalan dari posisi hakim MK karena pendapatnya dalam putusan UU Ciptaker.
Meskipun pencopotan hakim Aswanto diusulkan oleh DPR, papar Zainal Arifin Mochtar, tetapi Presiden merestui pencopotan Aswanto dengan menerbitkan Keppres, sehingga independensi kekuasaan kehakiman menjadi tercederai.
“MK saat ini mengalami domestikasi dan penjinakan. Merekalah yang menyerahkan dirinya untuk dijinakkan. Salah satu parameternya berada di revisi UU MK yang mengatur soal masa jabatan sampai usia 70 tahun atau minimal 15 tahun. Kualitas putusan MK juga makin melemah belakangan, dimana setidaknya dalam tiga tahun terakhir tidak ada putusan-putusan landmark yang selama ini menjadi ciri khas MK,” tegas mantan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM ini.
Selain 3 (tiga) narasumber di atas, Senior Associate INTEGRITY Law Firm, Muhamad Raziv Barokah juga menyampaikan paparannya tentang Praktik Oligarki, Kejahatan SDA, dan Cukong Pemilu 2024. Hal tersebut setelah menganalisis model pendanaan pemilu yang dikaitkan dengan eksploitasi sumber daya alam secara koruptif.
“Menjelang pemilihan umum, hutan dan kekayaan mineral serta lahan perkebunan selalu menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk dana kampanye politik. Membeli suara dan pengaruh, baik di tingkat daerah untuk Bupati, Walikota, atau Gubernur, maupun di tingkat nasional untuk DPR atau Presiden. Sektor kehutanan dan sumber daya alam lainnya memang lahan empuk untuk memperoleh pendanaan politik, korupsi dan cara untuk cepat kaya,” tegas Muhamad Raziv Barokah.
Kemudian narasumber terakhir, yang turut memberikan pencerahannya mengenai penegakan hukum dalam pusaran pemilu 2024, datang dari dosen hukum tata negara, FH UMY, King Faisal Sulaiman. Secara operasional, Faisal menjelaskan, bahwa pendidikan politik di indonesia masih sangat minim.
“Minimnya pendidikan politik inilah yang menjadikan para pemilih seringkali terjerembab pada politik praktis (money politic). Praktek politik tersebut, marak terjadi pada penyelenggaraan pemilu di level daerah, berbeda halnya dengan penyelenggaraan di level pusat yang agaknya cukup ketat,” pungkasnya.