PEMILIH CERDAS PEMILU BERKUALITAS
Tahun 2014 sudah dipelupuk mata, selain membuka lembaran baru dalam menyongsong masa depan yang lebih baik dan di tahun ini kita juga menentukan nasib bangsa lima tahun mendatang melalui momentum Pemilu 2014. Golput memang adalah sebuah pilihan politik karena kekecewaan terhadap kinerja parpol yang relatif buruk.
Namun dalam kehidupan demokrasi seperti saat ini, Golput bukanlah pilihan cerdas karena bertentangan nilai-nilai kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai patriotisme dan negarawan. Jadi yang harus dilakukan masyarakat saat ini adalah memilih untuk menjadi pemilih cerdas yang memilih berdasarkan kompetensi caleg bukan karena iming-iming materi yang dijanjikan oleh caleg. Jadilah pemilih cerdas bukan menjadi pemilih korban oknum caleg yang culas.
Jangan Pilih Politisi Busuk
Salah satu indikator caleg yang dapat diberikan stempel politisi busuk adalah caleg yang memberikan sejumlah uang kepada sekelompok komunitas untuk memilihnya pada pesta demokrasi kelak. Adanya politisi busuk tidak lain disebabkan oleh sistem pengkaderan yang lemah di parpol. Disamping itu, sebagian parpol juga asal comot para caleg dengan membuka pendaftaran seluas-luasnya kepada masyarakat tanpa menentukan standar khusus agar caleg-caleg yang diusung adalah caleg-caleg yang berkualitas. Sejauh mana kemampuan mereka dalam memahami perundangan-undangan dan menyikapi permasalahan-permasalahan daerah sebenarnya adalah prioritas utama yang patut untuk ditanyakan bukan berapa anggaran yang mereka berikan ke partai jika mereka ditempatkan di nomor jadi.
Fenomena seperti inilah yang kemudian melahirkan politisi-politisi busuk. Politisi yang siap membayar atau menyewa parpol untuk ambisi pribadinya. Sulit rasanya menemukan politisi yang benar-benar memperjuangkan nasib masyarakat di zaman yang hedonis saat ini. Meskipun demikian, penulis tidak katakan bahwa semua politisi itu busuk sebab busuknya politisi itu sebenarnya dapat dilihat dari enam kategori seperti yang diungkapkan oleh Koordinator JPPR (Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat) yang juga merupakan Koordinator Ganti (Gerakan Anti) Polbus (Politisi Busuk) Jeirry Sumampouw.
Pertama, boros, tamak, dan korup. Kedua, penjahat dan pencemar lingkungan. Ketiga, pelaku kekerasan HAM atau yang memberikan perlindungan bagi pelanggar HAM. Keempat, pelaku kekerasan terhadap KDRT dan diskriminasi terhadap hak-hak perempuan. Kelima, pemakai narkoba dan pelindung bisnis narkoba, dan keenam, pelaku penggusuran dan tindakan yang melindungi hak-hak ekonomi, sosial dan politik kaum petani, buruh serta rakyat miskin kota.
Dilihat dari aspek teologis atau moralitasnya, penulis justru mempunyai definisi yang lebih sederhana tentang politisi busuk. Politisi busuk adalah politisi yang tidak menjalankan segala apa yang telah diperintah-Nya dan politisi yang menjalankan apa yang telah dilarang-Nya khususnya yang terkait dengan kemaslahatan umat seperti tidak peduli dengan kemiskinan (hanya peduli menjelang Pemilu 2014). “Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Tuhan, mereka (disediakan) balasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan-Nya, sekiranya mereka memiliki semua yang ada di bumi (ditambah) sebanyak itu lagi, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan itu. Orang-orang itu mendapat hisab (perhitungan) yang buruk dan tempat kediaman mereka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali” (QS. Ar-Rad: 18).
Tanpa melihat latar belakang agamanya yang penting dia masih mengakui eksistensi Tuhan dalam kehidupannya, busuknya politisi seperti ini dapat dilihat dari aktifitas kesehariannya. Pertama, dia tidak menjalankan aktifitas ibadah yang telah diperintahkan Tuhan kepadanya. Kedua, dia tidak menginfakkan atau menyisihkan sebagian gajinya untuk kaum duafa atau masyarakat miskin.
Ketiga, dia sengaja melupakan janjinya setelah terpilih padahal Tuhan kan murka dengan orang-orang yang tidak menepati janji. Keempat, terlibat dalam drama selingkuh atau praktek perzinahan. Dengan istrinya saja dia mau berkhianat bagaimana dengan rakyatnya. Kelima, meminum-minuman keras dan terlibat praktik judi. Bagaimana bisa mengambil suatu kebijakan sedangkan kondisi dalam keadaan mabuk dan gajinya selain disetor untuk partai juga habis dimeja judi. Sehingga apa yang dia pikirkan bukan lagi persoalan-persoalan kerakyatan, tetapi adalah uang untuk ditaruhkan di meja judi.
Ketujuh, politisi yang hanya memperdulikan nasib kelompoknya. Ketika terpilih sebagai anggota dewan, para politisi mesti ingat mereka bukan milik Parpol lagi (dalam konteks masalah keumatan), tetapi sudah menjadi milik masyarakat secara keseluruhan jadi sikap peduli terhadap kelompok sebaiknya dihilangkan dan berikanlah kepedulian itu secara keseluruhan. Tidak tebang pilih dan tidak mengenal kata pensiun untuk memperdulikan permasalahan masyarakat
Ganti Politisi Busuk
Memang untuk mencapai politik yang bersih dan peduli yang kita perlukan sebetulnya bukanlah aturan yang sedemikian rumitnya, melainkan politisi-politisi bermoral dan berakhlak mulia. Ini memang tidak mudah, sebab tidak semua orang masyarakat tahu profil para caleg yang sedemikian banyak jumlahnya. Sehingga tingkat popularitaslah yang kelak menjadi pilihan masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat harus lebih pro aktif untuk mencari tahu profil caleg-caleg yang akan dipilihnya kelak. Pantas atau tidakkah caleg tersebut menjadi wakilnya di parlemen. Meskipun demikian, harus pula diakui karakter atau prilaku pemilih kita yang masih relatif rendah kualitasnya dalam menentukan pilihan seperti mudah terperdaya dengan materi dan kurang cerdas dalam memilih caleg-caleg mana yang memang benar-benar bersih adalah kesalahan fatal yang terjadi pada Pemilu 2009.
Pemiadalah kesempatan bagi masyarakat untuk tidak mengulangi kesalahan memilih seperti yang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Sudah saatnya masyarakat kita bangkit dan melek politik sebab urusan kampung tengah (perut) yang selama ini masyarakat lebih prioritaskan ternyata mempunyai hubungan yang erat. Sampai kapan pun masyarakat tidak akan dapat hidup sejahtera selama orang-orang yang mereka dudukkan di istana politik adalah orang-orang yang tidak paham dengan permasalahan bangsa dan masyarakatnya. Jadi, untuk Pemilu 2014 nanti jangan pilih politisi busuk pilihlah politisi negarawan yang mau menyerahkan segenap waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengatasi persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Mencari Politisi Negarawan
Politik yang bertanggung jawab adalah politik yang memiliki otoritas dan legitimasi moral, bukan hanya kekuasaan dan pertarungan kekuatan. Pelarian diri masyarakat yang benuansa apatisme, keluar dari lingkup politik untuk menyelamatkan diri di kehidupan pribadi menjadi faktor utama terbentuknya krisis kepercayaan. Demikian tulis Awaludin Marwan, S.H, Direktur Eksekutif Democracy Watch Organization (DEWA ORGA) Jawa Tengah.
Hal ini menuntut kita untuk mencari politisi-politisi negarawan yang memiliki moral atau akhlak yang mulia. Negarawan dapat ditafsirkan sebagai seseorang yang selalu memberikan apa yang dimilikinya tetapi tidak pernah meminta keuntungan dari apa yang telah diberikannya. Implikasinya, para politisi dituntut untuk menjadi politisi negarawan yang berorientasi kepada permasalahan-permasalahan masyarakat dengan berupaya sekuat tenaga memberikan apa yang dimilikinya.
Ini adalah politisi yang ideal dan sangat jarang ditemukan. Namun, sudah menjadi kewajiban masyarakat untuk mencarinya sebab bangsa ini tidak akan mengalami perubahan jika para pemimpinnya tidak bermoral dan berakhlak baik. Sosialisasi DCT (Daftar Calon Tetap) sudah dilakukan oleh KPU, kita mempunyai kewajiban untuk berusaha mencari dan mengetahui lebih jauh tentang para caleg yang telah diumumkan KPU propinsi dan kabupaten / kota baik dari aspek pendidikannya maupun dari aspek moralitasnya bukan sekedar simbol-simbol yang tercermin pada penampilan luar saja.
Itulah sebabnya, tidak ada jalan lain untuk memperbaiki bangsa ini ke depan adalah melalui pesta demokrasi yang dilaksanakan pada 9 April 2014 nanti. Pilihlah politisi negarawan yang ikhlas dan berjuang untuk kemaslahatan umat dan kita mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mencarinya dan sebagai masyarakat yang cerdas patutlah kita meragukan para caleg yang lebih banyak berkata dan berjanji untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Kendati demikian dengan keluarnya keputusan MK yang memutuskan penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak masyarakat mestinya mampu memutuskan pilihan bukan karena kepopuleran caleg, tetapi kualitasnya juga perlu dipertimbangkan sehingga ke depannya kita tidak dikecewakan.
Source: net,