KBK.News, MARABAHAN –Enis Sukmawati SH dari Kantor Hukum Nenggala Alugoro mendatangi Polres Barito Kuala (Batola), Selasa (15/7/2025), untuk mempertanyakan perkembangan penanganan kasus dugaan mafia tanah yang menyeret nama seorang kepala desa aktif berinisial AK.

Kunjungan tersebut terkait tindak lanjut atas Laporan Polisi Nomor: LP/95/IX/2019/Kalsel/Res Batola tertanggal 3 September 2019 tentang dugaan tindak pidana memasukkan keterangan palsu ke dalam Surat Pernyataan Fisik Bidang Tanah, serta pemalsuan akta otentik dan penjualan hak atas tanah yang diketahui milik orang lain.                                              Kasus ini dilaporkan oleh kliennya, SH.

“Sudah lima tahun berlalu, namun belum ada kejelasan hukum terhadap salah satu tersangka berinisial AK. Padahal, berkas perkara ini sebelumnya sudah dikirim ke Jaksa Penuntut Umum bersama dengan tersangka lain, JS, pada 11 Desember 2019,” kata pengacara asal Surabaya, Jawa Timur ini .

Ia menjelaskan, JS telah menjalani proses hukum dan bebas dari hukuman penjara.

Namun berbeda dengan AK, berkasnya seperti hilang jejak tanpa adanya kejelasan dari penyidik.

“Jika memang ada penghentian penyidikan, mestinya diberikan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) kepada pelapor sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Tapi faktanya hingga kini tidak ada SP3, dan tidak ada proses hukum lanjutan,” ungkap Enis.

Karena itu, pihaknya mengajukan permohonan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) kepada Polres Batola dengan batas waktu penerimaan satu minggu ke depan.

BACA JUGA :  Aksi Unjuk Rasa Desak Pemkab Tala Tindak Tegas PT Japfa Comfeed

“Maka demi kepastian hukum, kami ajukan SP2HP atas status tersangka AK. Hukum harus berpihak kepada warga negara yang haknya dirampas,” tegas Enis.

Lebih lanjut, ia menyesalkan status hukum AK tidak mempengaruhi jabatannya sebagai kepala desa yang masih aktif. “Seharusnya dinonaktifkan karena sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang mengandung ancaman pidana lebih dari lima tahun,” ujarnya.

Situasi ini, menurutnya, mencederai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa, yang semestinya menjadi garda terdepan pelayanan publik.

“Kondisi seperti ini justru menjadi potret nyata praktik mafia tanah yang berlindung di balik jabatan pemerintahan desa. Ini harus ditindak tegas,” katanya.

Enis juga memaparkan bahwa objek sengketa berada di kawasan Lok Rawa, Kecamatan Mandastana, Batola, seluas 11.000 meter persegi.

Sertifikat Hak Milik (SHM) kliennya sudah ada sejak tahun 2005, namun pada 2017 muncul tiga sertifikat baru atas tanah yang sama, termasuk milik dua orang tersangka.

“Saya juga mendapatkan keterangan dari pihak penyidik bahwa berkas lama belum ditemukan karena penyidik sebelumnya sudah pensiun. Itu alasan klasik, dan tentu tidak dapat diterima begitu saja,” ujarnya.

Sementara itu, Kasi Humas Polres Batola Iptu Marum mengonfirmasi bahwa pihaknya akan memeriksa kembali berkas perkara tersebut. “Kita cek dulu kebenarannya karena kasus ini sudah cukup lama,” ucapnya.

Enis berharap pemerintah dan aparat penegak hukum dapat segera menuntaskan kasus ini, sekaligus menjadi momentum untuk memberantas praktik mafia tanah yang melibatkan oknum pejabat desa.

*/