Site icon Kantor Berita Kalimantan

KPK Soroti Perpanjangan PKP2B

JAKARTA – KPK soroti sejumlah permasalahan di bidang minerba dan salah satunya perpanjangan izin PKP2B yang tidak sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, khususnya terkait luasan wilayah kerja, Selasa (14/2/2023).

Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ali Fikri, mengungkapkan permasalahan yang ditemukan pada kegiatan koordinasi supervisi (Korsup) Minerba. Hal tersebut diantaranya penataan perizinan, permasalahan penjualan dan ekspor yang tidak valid, serta rendahnya kepatuhan para pelaku usaha.

“Kompleksnya temuan pada kegiatan korsup tersebut, mendorong KPK untuk kembali melakukan kajian. KPK kemudian kembali melakukan Kajian Pengawasan Mineral dan Batu Bara pada 2019 dengan ruang lingkup dan fokus yang lebih spesifik. Hal itu mengingat minerba merupakan salah satu sektor andalan pemerintah dalam hal penerimaan negara. Sehingga negara penting untuk memastikan kebijakan pada sektor minerba tepat, agar mampu memaksimalkan potensi SDA untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat,” ujar Ali seperti dilansir dari InfoPublik, Senin (13/2/2023).

Untuk diketahui, Indonesia pernah mengalami masa booming perizinan pada sektor minerba. Kondisi tersebut terjadi ketika kebijakan otonomi Daerah mulai berlaku 2001. Jumlah izin pada sektor mineral dan Batubara meningkat dari sekitar 700-an pada 2001 menjadi sekitar 10 ribuan pada 2010.

“Faktor yang mendasari fenomena membludaknya izin Pertambangan ialah lahirnya PP Nomor 75 Tahun 2001 yang memberikan kewenangan pengelolaan sektor minerba kepada Pemda di tingkat Kabupaten/Kota sehingga menyebabkan ketidaksinkronan dengan UU sektor Minerba kala itu,” katanya.

Ia menambahkan, Pemda seakan berlomba-lomba mengeluarkan izin Pertambangan dengan dalih pembangunan dan investasi di daerahnya. Di satu sisi ternyata kebijakan tersebut justru menghasilkan kerusakan alam karena kegiatan pertambangan tidak dilakukan dengan kaidah good mining practice.

“Pemerintah pusat tidak dapat melaksanakan pengawasan secara optimal karena rentang birokrasi dan kewenangan yang terlalu jauh. Akibatnya fungsi pengawasan menjadi lemah bahkan cenderung tidak optimal. Salah satu indikator tersebut ialah rendahnya kepatuhan jaminan reklamasi. Lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda kemudian menjadi arah baru pengelolaan sektor minerba di Indonesia. Kewenangan pengelolaan sektor minerba kembali menjadi domain pusat dan pemerintah provinsi,” paparnya.

Kajian Pengawasan Mineral Dan Batu Bara pada 2019 kemudian menemukan sejumlah permasalahan dalam tata kelola dan pengawasan mineral dan Batubara.

Pertama, permasalahan pada penataan perizinan sektor minerba, khususnya mengenai perbedaan data Izin Usaha Pertambangan antara Pusat dan Daerah.

Kedua, ialah rencana perpanjangan pada sejumlah PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) berpotensi tidak sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, terkait luasan wilayah kerja.

Ketiga, tidak optimalnya sistem monitoring produksi dan penjualan Batubara. Ditjen Minerba sudah memiliki aplikasi Modul Verifikasi Penjualan (MVP), akan tetapi kehandalan dan implementasi khususnya mengenai produksi, penjualan batubara di Daerah belum dapat dipastikan berjalan dengan baik.

KPK selanjutnya merekomendasikan sejumlah hal, yakni sebagai berikut:

1) Perpanjangan PKP2B dilakukan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba;

2) Menyederhanakan dan mengintegrasikan seluruh sistem pengawasan/monitoring yang ada pada Ditjen Minerba; Sistem monitoring produksi dan penjualan pada Ditjen Minerba agar terintegrasi dengan sistem/mekanisme monitoring lainnya di Kementerian/Lembaga terkait;

3) Mengimplementasikan quantity assurance pada kegiatan verifikasi kualitas dan kuantitas penjualan Batubara;

4) Mendorong inventarisasi asset pada sejumlah PKP2B yang akan berakhir kontraknya oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM.

“KPK berharap dengan perbaikan tata kelola pengelolaan SDA dari hulu-hilir ini, bisa memberikan manfaat yang  sebesar-besarnya bagi penerimaan Negara, pensejahteraan Masyarakat, serta terhindar dari praktik-praktik korupsi,” pungkasnya.

Foto : Istimewa 

Exit mobile version