KBK.News, MARTAPURA – Pihak Hotel Grand Tan akhirnya angkat bicara terkait polemik yang tengah menjadi sorotan publik. Melalui tim kuasa hukumnya, pihak hotel memberikan klarifikasi atas aksi unjuk rasa puluhan pemilik unit kondotel yang terjadi di kawasan Grand Banua, Jalan A. Yani Km 11,8, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalsel, Kamis (24/10/2025).

Kuasa Hukum PT Banua Anugerah Sejahtera (PT BAS) dan Tan, Dhieno Yudistira, menjelaskan bahwa akar permasalahan ini bermula sejak tahun 2013, ketika sertifikat tanah Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 0452 diterbitkan dan digadaikan oleh PT BAS lama ke Bank CIMB Niaga.

“Pada 2014 PT BAS bekerja sama dengan Aston Banua, padahal SHGB tersebut sudah digadaikan. Pihak Aston Banua saat itu tidak mengetahui kondisi ini. Kemudian pada 2015, kredit PT BAS di CIMB Niaga macet,” ujar Dhieno, Kamis (23/10/2025) malam.

Menurutnya, Bank CIMB Niaga kemudian melelang SHGB Nomor 0452 pada tahun 2019, dan Pak Kris menjadi pihak yang melakukan cessie (pengalihan hak tagih) dari bank tersebut.

Selanjutnya, pada tahun 2020 digelar RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) untuk pengalihan lahan, yang menetapkan Pak Tan sebagai pengurus baru PT BAS, sekaligus membebaskannya dari tuntutan pihak ketiga.

“Pada 2021, Pak Tan juga membayar royalti kepada Pak Kris untuk melepaskan hak tanggungan, agar sertifikat tersebut bisa diserahkan kembali ke BPN untuk proses pemecahan sertifikat,” tuturnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum lainnya, Syahruzaman, turut meluruskan bahwa masyarakat yang mengaku pemilik unit condotel secara hukum masih berstatus pembeli, bukan pemilik sah.

BACA JUGA :  Ribuan Massa Gelar Aksi di DPRD Kalsel, Tuntut Reformasi DPR hingga Usut Kematian Ojol

“Dari berkas yang ada, mereka memang membeli unit dari PT BAS lama di bawah kepemimpinan Henry cs. Namun statusnya baru sebatas Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), belum menjadi Akta Jual Beli (AJB), jadi haknya belum sempurna,” jelasnya.

Ia menegaskan, seluruh bangunan dan lahan kondotel yang kini menjadi polemik termasuk dalam aset yang telah di-cessie-kan kepada Pak Kris, tanpa ada pemecahan sertifikat atas nama individu atau condotel.

“Kami mengakui masyarakat punya hak, tapi kami juga punya hak. Karena itu, ruang yang tepat untuk menyelesaikan perkara ini adalah pengadilan. Kami mengajak kuasa hukum mereka, mari kita buktikan secara terbuka di depan umum, supaya masyarakat bisa menilai berdasarkan fakta dan data,” jelasnya.

Rekan pengacara dari Grand Tan lainnya, Ade Pramana Putra, pun menilai tudingan yang menyebut kliennya zalim kepada masyarakat adalah keliru.

“Sejak awal, semua ini adalah perbuatan dari Henry cs, pengurus lama PT BAS. Mereka yang berjualan, mereka yang menggadaikan sertifikat, mereka juga yang menjanjikan pemecahan sertifikat kepada masyarakat,” tegasnya.

Ade menambahkan, masyarakat yang kini menuntut hak atas unit kondotel seharusnya menuntut kepada pengurus lama, bukan kepada manajemen baru yang justru ikut menjadi korban.

“Faktanya, Henry cs yang menerima uang pembelian dari masyarakat. Jadi, siapa yang sebenarnya dzalim? Klien kami atau pengurus lama? Menurut kami, ini salah alamat,” pungkasnya.