Site icon Kantor Berita Kalimantan

Mempertentangkan Teori Hukum Progresif Dan Philosophy Of Law Dalam Perspektif Menjadi Komisioner KPID

MEMPERTENTANGKAN TEORI HUKUM PROGRESIF DAN PHILOSOPHY OF LAW Dalam PERSFEKTIF MENJADI
KOMISIONER PENYIARAN DAERAH KPID KALSEL

sebuah catatan/Testimoni perdebatan keilmuan 25-30 menit dalam Fit and Proper Test KPID KAL-Sel
2021 -2024 di DPRD ].

Oleh Daddy Fahmanadie SH LL.M

Beberapa waktu belakangan ini selain persoalan sosial dan kemasyarakatan di Kalimantan Selatan, persoalan kelembagaan baru- baru ini dihelat, yaitu proses seleksi atau Uji kompetensi kelayakan Calon Komisioner KPID kalsel 2021-2024.

Kegiatan tersebut yang merupakan implementasi atas amanah UU no 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran, maka Fit and proper test diselenggarakan oleh DPRD Kal-Sel melalui Komisi 1 sebagai pelaksana Test. Hal yang menarik
adalah terdapat 14 orang yang tercatat sebagai peserta Fit and proper test pada DPRD ini yang semua calon sampai ke final.

Hasil seleksi ini merupakan yang terbaik dan pertama bentukan oleh KPID kal-sel bersama DISHUBKOMINFO. Selanjutnya para calon yang masuk final menjalani “pantohir” di komisi 1 DPRD Kalsel.

Pada tahapan atau mekanisme yang dilalui untuk menjadi komisioner KPID kalsel sangatlah berat, sebab semua calon peserta harus memenuhi syarat syarat sehingga secara Administratif terpenuhi untuk menjadi calon peserta. Setelah lengkap akan mengikuti tes tertulis di Timsel tingkat pertama , kemudian apabila sudah lolos pada seleksi tertulis, maka calon harus mengikuti lagi tahapan selanjutnya dengan saringan jumlah peserta sesuai hasil kelulusan.

Setelah tes tertulis disusul tes psikologi oleh pihak independen dan
menjalani tes wawancara oleh Timsel. Pada tahap ini hanya sedikit yang bisa lolos, sehingga kemudian
disaring dari 14 besar terbaik dengan rincian 12 calon ditambah 2 dari calon petahana.

Disini kita bisa melihat, bahwa betapa beratnya perjuangan para kandidat untuk mencapai goal sebagai komisioner.

Kemudian proses terakhir yang melalui DPRD yaitu komisi satu (1), dan terlepas apakah hasil dari keputusan Tim Komisi 1 tersebut dianggap sebagai keputusan politik ataukah benar -benar suatu putusan objektif. Atas hasil penilaian akhir, saya selaku salah seorang peserta tidak akan membahasnya dalam catatan ini, namun sebagai testimoni saya ingin berbagi sedikit pengalaman yang
kebetulan dalam kontestasi mengikuti seleksi KPID sudah 3 kali.

Seiring dengan proses yang baru saja
saya ikuti tersebut, saya dinyatakan kembali belum beruntung atau tidak lolos. Terkait hal ini, kenapa dan mengapa saya tidak lolos, tentu para penyeleksi punya gradasi sendiri dalam menilainya baik apakah subyektif ataupun objektif.

Tetapi, yang menarik, pada pembahasan ini adalah pada saat proses tanya jawab atau uji kompetensi yang saya alami, yakni sebuah diskursus
mempertententangkan soal Teori Hukum (legal theori). Khususnya syarat untuk menjadi seorang komisioner KPID yang ditanyakan oleh salah satu penyeleksi kepada saya.

Hal tersebut menjadi menarik sekaligus menggelitik juga, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan dari teman, kerabat kepada saya apakah pertanyaan yang diajukan sudah relevan. Mengingat yang ditanyakan seperti perdebatan hukum dalam menyelesaikan tesis atau sebuah disertasi hukum?

Bukankah ini ujian kompetensi untuk jadi komisioner KPID ? terlepas dari ini, tentu ukuran yang dipakai
mungkin adalah ukuran perspektif si penyeleksi tersebut, memang bagi saya terkesan rancu. Sebab, sebagai orang akademis tentu saya punya pandangan yang berbeda terkait masalah. Hal ini juga menjadi semakin menarik untuk dibahas dan menjadikannya sebuah tulisan ilmiah sebab bagi saya jarang
seorang penyeleksi yang anggota dewan melakukan dialektika teoritis apalagi berkaitan dengan sebuah
uji kompetensi yang paket ujiannya melalui hasil keputusan oleh Dewan di Komisi I.

Pada sesi paparan yang hanya diberi waktu 5 menit, tentu bagi yang tidak piawai persentasi pastilah agak kerepotan. Padahal masih bisa longgar sekitar 10 menit dari waktu ujian yang masing – masing calon diberi tempo sekitar 30 menit.

Setelah paparan kita kemudian mendapat klarifikasi atau tanya jawab, memang pada beberapa media massa dan online sempat tersiar informasi materi yang di ujian. Misalnya, visi-misi / makalah, paparan persentasi , aspek kebangsaan , aspek isi atau sistem penyiaran , Undang-Undang atau hukum penyiaran dan masalah pemerintahan (dikutip melaui lama) berita media online jejak rekam 2 juli 2021).

TEORI HUKUM PROGRESIF VS PHILOSOFY OF LAW

Ngeri-ngeri sedap, jika membahas sebuah teori dalam sebuah isu hukum fundamental, boleh jadi tidak
selesai dalam ruang hampa manakala seorang ilmuan bersikukuh menggunakan suatu mazhabnya relevan dengan paradigma atau teori yang digunakan. Dialektika kritis ini terjadi dalam kesempatan saya beradu argumen kepada seorang anggota dewan yang bertanya, dikerenakan
saya adalah peserta berlatar belakang akademis hukum dan beliau penguji adalah Doktor hukum , saya
yang hanya kualifikasi Master hukum (Alumni Pasca UGM) tentu memiliki argumen kritis sendiri mengingat ini teoritis.

Apakah teori hukum ini penting tentu jawabnya penting untuk sebagai dasar dalam hal seorang ilmuan atau praktisi hukum melakukan telaah kritis terhadap kasus perkasus atau fenomena masalah hukum. Hal ini termasuk juga anggapan si penyeleksi ini mengenai teori hukum
seolah relevan dengan kedudukan seorang Komisioner.

Artinya mungkin seorang koimisioner penyiaran harus berwawasan hukum secara teoritis. Tetapi buat saya hal ini tidak serta merta menjadi hal yang
utama, sebab fokus utama kaitan dengan penyiaran tentu adalah soal implementasi atas Undang Undang tentang penyiaran no 32 tahun 2002. Kemudian peraturan KPI atau standar penyiaran , sebab kasus
kasus penyiaran tentu kasuistis , bahkan dengan corak motif yang berbeda beda.

Mengenai soal teori hukum kiranya ini hanyalah alat atau pisau analisis dalam kerangka ketika terjadi konflik atau kasus dalam ranah penyiaran baik apakah kasusnya perdata atau pidana. Namun bisa saja kasus penyiaran ini bersifat sengketa dan tidak menutup kemungkinan.

Teori hukum merupakan diskursus menarik karena teori -teori hukum sangatlah banyak ada teori hukum murni ada Teori progresif serta philosofy of law. Contohnya yang digunakan oleh penguji kepada saya , pertentangan teori bagi setiap insan ilmuan adalah lumrah. Tetapi, menurut saya tidak bisa lantas menjadi ukuran untuk masuk kedalam ranah uji kepatutan dan kelayakan KPID, sebab secara substansi berada pada dimensi yang berbeda.

pada sisi lain teori hukum sangatlah penting untuk diperdebatan dalam konteks ujian tesis atau ujian disertasi hukum atau bahkan dialog dan diskusi hukum pada perkuliahan S2 dan S3. Sedangkan aspek lain tidak
semua orang yang bukan berlatar belakang hukum memahami konteks teori hukum .

Teori hukum progresif yang saya gunakan sebagai argumen menjawab penguji pada fit and proper test KPID yaitu teori Hukum Progresif yang berasal dari Prof satjipto raharjo Gurubesar UNDIP yang dikutip di Hukum Online.

Pada Tahun- Tahun terakhir hidupnya Satjipto Raharjo menyebut deep ecology hukum tak semata untuk manusia. pertanyaan tentang apa sebenarnya hukum progresif dan posisinya dalam aliran hukum yang berkembang, yaitu mencoba menggambarkan wujud Hukum Progresif dalam berbagai
bidang. Hal ini artinya luas, bahkan terkait dimensi penyiaran pun teori ini dapat digunakan.

Ahli hukum lain Profesor Suteki berpendapat tidak mudah menjawab hukum progresif per definisi, karena ia adalah hukum yang berkembang. Teori progresif adalah gerakan pembebasan kerena ia bersifat cair dan
senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke kebenaran selanjutnya. Gagasan Profesor Tjip ini secara teoritis menurut saya sangatlah berfikir maju bidang hukum baik praktis maupun empiris. Gagasan beliau ini sejalan dengan paradigmanya yang didasari atas keprihatinan terhadap
kontribusi rendah ilmu hukum di Indonesia untuk mencerahkan bangsa untuk keluar dari krisis termasuk krisis di bidang hukum. Hal tersebut berbeda dengan philosofy of law seperti dimaksudkan penguji kepada saya.

Aspek hukum progresif contohnya tidak hanya untuk hakim saja, tetapi juga penegak hukum. Misalnya dalam kasus Angelina Sondakh, Jaksa KPK, Yudi
Kristiana yang doktor lulusan UNDIP menyatakan kasus Angie bermuatan hukum progresif. Hal itu terbaca dari pesan blackberry yang disadap KPK, tidak ada kata kata uang yang ada istilah Apel Malang dan Apel Washington, tetapi penyidik meyakini maksud dari istilah itu adalah uang karena ada proses
penyerahan (levering) dan ucapan terimakasih atara pemberi dan penerima . Karena itu hakim agung memutus Angie 12 tahun penjara. Dari kasus tersebut penekanannya tidak hanya pada hakim, tetapi juga penyidik melakukan terobosan progresif.

Hukum progresif memandang bahwa hukum itu untuk manusia, dan hukum untuk membahagiakan manusia, hukum mengabdi untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk hukum.

philosofy of law justru adalah filsafat hukum atau pendekatan filsafat ranahnya justru berada diatas
teori hukum. Jika kita gambarkan secara piramida , teori keadilan bermartabat dalam filsafat hukum
dapat disebut sebagai suatu filsafat.

Pendekatan yang dimaksud adalah suatu kegiatan berfikir filsafat yang salah satunya dilakukan oleh hakim
ketika hakim memberikan hukum bagi utusannya,( Teguh Prasetyo 2015).

Sebagai suatu filsafat memang teori ini dibangun dalam kontek memahami, menjelaskan dan menerapkan suatu hukum positif tertentu, sebagai suatu teori. Teori ini selalu berorientasi pada nilai kemanfaatan untuk manusia
dan masyarakat.

Dalam ruang pembahasan tentu persfektif dua ranah ini berbeda tapi sebetulnya menurut saya bisa saling melengkapi, sebab philoshofy of law adalah ruang filsafat hukum. Sementara teori progresif ini aliran critikal atau kritis, sehingga selaras dengan perkembangan hukum yang semakin maju. Apalagi jika dihubungkan dengan substansi iklim penyiaran yang nantinya bermigrasi menjadi digital dan tidak lagi analog (analog switch off), selain program nasional digitalisasi penyiaran adalah amanah UU Omnibus law no 11 tahun 2020 .

Pada akhirnya tentu ruang perdebatan ini tidak menyimpulkan secara definitif, karena berdebat paradigma
teori adalah suatu diskursus keilmuan. Tetapi, dalam koridor berfikir saya adalah cukup aneh, ketika
diperdebatkan atau dibahas ketika Uji kepatutan KPID Kalsel.

Sesungguhnya perbedaan gelar tidak menutup ruang demokrasi apakah penguji sebagai Profesor atau Doktor. Meskipun tingkatan saya
hanyalah master atau S2, tetapi soal keilmuan, terutama isu teori hukum, saya kira terus berkembang. Hal itu dapat menjadi ruang perdebatan. Didalam ruang hukum juga mengenal penafsiran, ketika terjadi perdebatan
makna atau frase, namun dalam konteks hukum pidana hanya analogi yang tidak dibolehkan .

Semoga tulisan ini menjadi sangat bermanfaat dalam khasanah diskursus keilmuan . Telaah kritis ini sebagai catatan dan pengalaman, baik untuk akademisi , ilmuan hukum , praktisi maupun legislatif .

Ungkapan akhir saya menutup tulisan ini adalah tak ada demokrasi, jika tidak diwarnai teori kritis. Pengalaman
merupakan ilmu yang sangat luarbiasa bersanding teori atas ilmu yang sudah dimiliki, maka tak ada ilmu, jika tiada guru, dan guru terbaik adalah pengalaman itu sendiri selain terus membaca dan belajar.

Exit mobile version