Menangguk Suara Di Air Keruh Pemilu 2014
Ditulis oleh : Syahminan Alfarisi
“ Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya ( Homo Homini Lupus ), “ kata Thomas Hobbes dalam karyanya Leviathan.
Thomas Hobbes, dikalangan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan dikenal sebagai tokoh penting dalam perkembangan ilmu filsafat, pengetahuan, dan ilmu politik modern. Dalam teorinya disampaikannya yang menyatakan manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, seperti mendekati kenyataan ,jika berkaca pada pelaksanaan Pemilu Legislatif Rabu, 9 April 2014 yang marak terjadinya pelanggaran.
Pelanggaran yang dilakukan peserta pemilu khususnya pada pelaksanaan pemilu legislatif 2014 terjadi di hampir semua tahapan pemilu, mulai pelanggaran yang bersifat administratif, kode etik hingga pidana pemilu. Semua pelanggaran itu dilakukan, peserta pemilu tidak lain adalah untuk mencari keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang dapat merugikan yang lainnya.
Berdasarkan Data Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan , hingga bulan Maret total jumlah pelanggaran pemilu yang berhasil mereka kumpulkan dari 13 Kabupaten / Kota di Kalimantan Selatan , merupakan jumlah yang terbanyak di banding Provinsi lainnya di Indonesia, kemudian menurut Komisioner Bawaslu Kalsel, Erna Kasypiah data itu terus semakin meningkat hingga mencapai 14.137 kasus, yakni masing – masing 8 kasus sengketa , 19 pidana pemilu , 4 kode etik , 14.106 kasus pelanggaran administrasi sebanyak ( 26/04/2014).
Banyak politisi mengakui dan mengeluhkan praktik politik uang ( Money Politics ) yang terjadi begitu massif dan terjadi, hampir di semua lini. “ Politik transaksional didaerah ini terjadi disemua lapisan, seperti dari masyarakatnya, calon anggota legislatif, saksi, partai hingga petugas PPS bahkan sampai PPK,” kata Aspihani Ideris salah seorang Caleg yang perolehan suaranya tidak cukup untuk duduk dikursi DPRD Provinsi Kalsel. Menurut Aspihani Ideris kalau seorang caleg jika ingin terpilih harus punya banyak modal , terutama modal uang dan berani ‘membagi’ uang di semua lini tersebut. Disamping itu tegasnya hampir tak bisa dipungkiri fenomena mendekati hari pemungutan suara ,dimana para caleg harus bagi-bagi barang atau uang yang istilahnya sekarang satu orang satu suara dan satu orang satu amplop. Kemudian tambahnya untuk menjaga dan mengamankan perolehan suara, seorang caleg harus membayar saksi sendiri guna mengawal data mulai dari TPS hingga sampai ke PPK.
Politik Uang juga terjadi hampir disemua Daerah Pemilihan/Dapil di Kalimantan Selatan, tetapi faktanya belum ada yang berhasil ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Politik uang yang dilakukan oleh peserta pemilu sengaja dikemas dalam bentuk dan alasan lain sehingga ia tersamarkan atau menjadi abu-abu.
Menjelang hari pemungutan suara di sejumlah daerah panwaslu banyak menerima laporan terkait peserta pemilu yang mengemas politik uang melalui pembagian sembako, kerudung, sarung, dan uang transport, kepada calon pemilih. Di Sungai Loban, Kabupaten Tanah Bumbu misalnya , Lukmanul Hakim, Komisioner Panwaslu Kabupaten Tanah Bumbu, menerima laporan telah terjadi dugaan politik uang melalui pemberian sebanyak 25 ekor kambing untuk 25 Kepala Keluarga.
“ Kami sudah menindak lanjuti laporan masyarakat terkait pemberian sejumlah kambing tersebut, saksi dan penerima kambing juga ada, tetapi dalam penyerahan kambing itu tidak disertai ajakan untuk memilih si pemberi, maka akhirnya setelah dibawa ke Gakumdu dihentikan proses penyelidikannya dengan alasan tidak tidak cukup bukti dan tidak memenuhi unsur materil serta formil,” tegas Lukmanul Hakim (06/04/2014).
Lemahnya aturan dan perundang-undangan serta penegakan hukum terkait pelanggaran pemilu, menyebabkan para peserta pemilu, seperti partai politik Caleg dan calon anggota DPD berani melakukan pelanggaran dalam upayanya mengalahkan peserta pemilu yang lain, bahkan teman dalam satu partai.
Pada Pelaksanaan Pesta Demokrasi Pemilu legislatif tahun 2009 banyak pengamat politik di Indonesia yang menilai telah banyak terjadi kekurangan dan kecurangan, tetapi menurut mereka yang terjadi pada Pemilu Legislatif tahun 2014 ini justru lebih parah dan lebih massif. Menurut salah seorang pengamat Politik yang juga guru besar ilmu Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan Prof. Tjipta Lesmana dalam sebuah dialog disalah satu stasiun Tv swasta , yang menjadi penyebab munculnya masalah dalam pelaksanaan Pemilu ditahun ini adalah karena kesalahan para pemimpin di negeri ini ,khususnya para anggota DPR yang membuat aturan main pada Pemilu.
Selanjutnya Tjipta Lesmana juga mengungkapkan, bahwa hasil survei KPK 78,2 persen masyarakat Indonesia mengetahui telah terjadi politik uang dan menganggap hal itu wajar pada Pemilu yang digelar pada ,Rabu 9 April 2014 yang lalu. Kemudian jelasnya lagi hasil survei KPK menyatakan 56 persen masyarakat Indonesia tidak mengetahui dampak dari terjadinya politik uang tersebut . Berdasarkan data dan hasil survei itu tegas Prof Tjipta Lesmana menggambarkan sistem Demokrasi kita dan Masyarakat ” Sakit “.
Fakta dilapangan seperti membenarkan hasil survei dari KPK tersebut, masyarakat di Kalimantan Selatan tidak tabu dan mengetahui politik uang, bahkan tidak sedikit dari mereka yang justru sangat menantikan serangan fajar untuk mendapatkan uang. Kondisi ini membuat para caleg yang tidak didukung keuangan atau modal besar menjadi tersingkir dari pertarungan dalam menangguk suara dan justru menjadi peluang besar bagi para caleg berkantong tebal dalam menangguk suara . Semua itu bisa mereka lakukan dengan mudah, karena lemahnya undang -undang yang bisa menjerat mereka , serta lemahnya pengawasan.
Bersambung….