Menapak Jejak Suryanata dan Pamaton: Menguatkan Identitas Banua di Tengah Arus Zaman
KBK.News, MARTAPURA – Di tengah laju deras globalisasi dan perubahan zaman yang kian cepat, generasi muda Banjar diingatkan untuk tidak tercerabut dari akar sejarah dan budayanya sendiri. Dua simbol penting yang terus mengakar dalam kesadaran kolektif masyarakat Kalimantan Selatan adalah sosok Pangeran Suryanata dan Gunung Pamaton.
Keduanya bukan sekadar tokoh dan tempat dalam catatan sejarah, tetapi telah menjelma menjadi pilar identitas Banua penanda arah, nilai, dan jati diri.
Pangeran Suryanata: Simbol Kepemimpinan Berbasis Nilai
Berdasarkan Hikayat Banjar, Pangeran Suryanata merupakan figur sentral dalam pembentukan tatanan politik awal wilayah Kalimantan Selatan. Kepemimpinannya pada pertengahan abad ke-14 menjadi fondasi berdirinya Kesultanan Banjar.
Kisah legendarisnya bersama Putri Junjung Buih, yang dipercaya sebagai simbol unsur air, bukan hanya narasi romantis, tetapi lambang keharmonisan, legitimasi spiritual, dan kekuatan sosial yang menyatukan rakyat dan penguasa.
“Dari kisah ini kita belajar bahwa kepemimpinan bukan tentang kekuasaan semata, tapi tentang penerimaan, keteladanan, dan nilai-nilai luhur,” ujar M. Ali Syahbana, anggota DPRD Kabupaten Banjar sekaligus pemerhati budaya lokal.
Gunung Pamaton: Titik Sakral, Titik Perjuangan
Di sisi lain, Gunung Pamaton yang terletak di Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar, menyimpan kekuatan spiritual dan sejarah yang mendalam. Dalam tradisi lisan masyarakat Banjar, gunung ini diyakini sebagai tempat bertakhta nya Pangeran Suryanata ruang simbolik yang menjadi jembatan antara dunia nyata dan dunia nilai.
Bukan hanya tempat yang disakralkan, Gunung Pamaton juga memiliki catatan penting dalam perjuangan fisik rakyat Banjar. Pada masa Perang Banjar (1859–1906), kawasan ini menjadi salah satu titik pertahanan Sultan Hidayatullah II. Serangan Belanda pada 19 Juni 1861 menegaskan peran strategis Pamaton sebagai simbol keteguhan dan perlawanan terhadap kolonialisme.
“Gunung Pamaton adalah ‘pintu gerbang’ bukan hanya bagi alam gaib, tapi bagi kesadaran kita akan leluhur dan nilai-nilai perjuangan. Di situlah spiritualitas, sejarah, dan identitas bertemu,” terang Ali.
Mewariskan Nilai, Menjaga Arah Banua
Ali Syahbana menegaskan pentingnya menghidupkan kembali narasi sejarah dan tokoh budaya seperti Suryanata dan Pamaton, khususnya di kalangan generasi muda. Ia mendorong agar warisan budaya ini diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, media massa, hingga ruang publik.
“Jika kita kehilangan akar sejarah dan nilai-nilai luhur itu, maka yang kita hadapi bukan hanya kekosongan masa lalu, tapi juga kehilangan arah dalam membentuk masa depan,” ujarnya.
Menurutnya, masa depan Banua tak bisa dibangun hanya dengan infrastruktur, tetapi juga dengan kesadaran sejarah dan budaya. Suryanata dan Pamaton adalah dua cahaya penunjuk jalan yang harus terus dijaga agar Banua tetap teguh berdiri dalam arus zaman.