JAKARTA – Kemenkominfo dan Dewan Pers tengah menjajaki model payung hukum rancangan aturan hak-hak penerbit (publisher right), Senin (21/3/2022).
Menteri Kominfo Johnny G Plate mengatakan, penjajakan model payung hukum tersebut masih dalam tahap awal. Hal itu, karena rancangan aturan ini masih dalam penyusunan naskah akademik dengan menggandeng Universitas Padjajaran (Unpad) di Bandung.
“Ya memang masih ada beberapa hal yang harus perlu disempurnakan. Mudah-mudahan dalam dua minggu kedepan kita bisa menyelesaikan akademiknya (rancangan aturan publisher right),” jelasnya usai mengadakan pertemuan dengan Dewan Pers dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di kantornya, Jakarta pada Senin (21/3/2022).
Menurut Johnny, jika naskah akademik rancangan aturan itu selesai, maka pihaknya akan mengusulkan ke Presiden Joko Widodo agar meminta hak inisiatif mengusulkan payung hukum publisher right, termasuk pilihan payung hukumnya.
Saat ini, ungkap Menteri Kominfo ini, aturan yang terkait dengan publisher right itu tersebar di beberapa Undang-undang (UU), seperti UU Pers, UU penyiaran, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU lainnya.
“Nanti kita akan lihat payung hukum mana yang bisa kita selesaikan cepat, namun itu juga implementable ya, yang bisa diterapkan dan mempunyai landasan hukum yang kuat,” katanya.
Menurut Menteri Johnny, kalau pilihannya nanti membentuk UU, maka harus berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mencari bentuknya, apakah UU baru atau revisi terhadap berbagai UU.
Dia berpendapat, sementara ini aturan mengenai hak penerbit yang paling mungkin adalah dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden (Perpres).
“ini yang sedang kita exercise. Nah draft RUU-nya dalam bentuk dua payung hukum,” imbuhnya.
Anggota Dewan Pers Agus Sudibyo mengatakan, regulasi mengenai hak penerbit sudah diterapkan oleh sejumlah negara seperti Australia dan Kanada dalam konteks nasionalosasi mereka.
Dalam hal ini regulasi yang akan dibuat dipastikan bukan merupakan penegasan sikap anti konten berita di platform berita digital, melainkan untuk menciptakan system media yang seimbang dan setara.
“Jadi intinya media massa bertanggung jawab atas konten yang mereka sebarkan. Nah kami juga ingin platform global itu juga bertanggung jawab atas konten yang turut mereka sebarkan, meskipun itu bukan mereka yang membuat konten. jadi similaritas equality antara publisher dan platform ini yang ditekankan dalam Undang-undangnya,” pungkasnya
Foto dan sumber : Wahyu/InfoPublik