Kantor Berita Kalimantan

Praktisi Hukum : Penyelesaian Kasus First Travel Solusinya Ada Di Pemerintah

Penasehat hukum Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M, pro bono (cuma-cuma) jamaah korban penipuan perjalanan umroh First Travel (Foto Istimewa).

JAKARTA – Janji Kementerian Agama untuk mengembalikan biaya umroh kepada 63.310 korban penipuan First Travel belum terlaksana, meski hasil putusan hukum aset disita untuk negara, namun solusinya ada di pemerintah, Minggu (8/1/2023).

Penasehat hukum Dr. TM. Luthfi Yazid, SH, LL.M, pro bono (cuma-cuma) jamaah korban penipuan perjalanan umroh First Travel memaparkan kasus ini yang berlarut larut tanpa solusi konkret.

Menurutnya beredar kabar di berbagai media tentang adanya putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) terkait asset PT First Anugerah Karya Wisata (First Travel). Dalam putusan itu katanya asset First Travel yang disita dan dirampas untuk negara dan diputuskan untuk dikembalikan kepada jamaah.

” Yang mengajukan permohonan PK adalah Andika Surachman selaku terpidana dalam kasus penipuan penyelenggaraan umroh. Akan tetapi bunyi putusan lengkapnya, di website MA belum ada sampai tulisan ini dibuat,” jelasnya.

hipwee-maxresdefault-2-1-750x422-01
Andika Surachman yang mengajukan PK (Foto Istimewa).

Sebelumnya, beber Lutfi Yazid, Di tingkat kasasi, dengan ketua majelisnya Dr Andi Samsan Nganro, SH, MH putusannya adalah asset FT dirampas dan disita untuk negara. Atas putusan Nomer 3096 K/Pid.Sus/2018 tertanggal 31 Januari 2019 itu aset FT dirampas dan disita untuk negara tersebut, muncul banyak kecaman.

“Kecaman dilakukan, sebab aset FT tersebut bukanlah dana korupsi melainkan dana para jamaah yang jumlahnya sekitar 63.310 jamaah yang telah menyetor ke First Travel. Dana-dana yang jumlahnya hampir Rp 1 Triliun itulah yang diselewengkan oleh Andika Cs untuk membeli restaurant di London, plesiran, mengadakan fashion show di New York dan lainnya. Putusan kasasi MA banyak dikecam, karena dalam Pasal 117 UU No 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umroh disebutkan bahwa uang jamaah tidak boleh diambil oleh siapapun, termasuk oleh negara,” tegasnya lagi.

Terhadap putusan MA yang dikecam tersebut, ungkap Lutfi Yazid, Juru Bicara MA (waktu itu) Dr. Abdullah, SH, MH, mengatakan kepada media pada tanggal 20 November 2019, bahwa yang namanya upaya itu bukan hanya upaya hukum, tetapi juga non hukum termasuk politik.

Persoalan lainnya, para jamaah berbondong-bondong mendaftar sebagai calon jamaah umroh ke FT, karena FT merupakan perusahaan Penyelenggara Pelaksanaan Ibadah Umroh (PPIU) yang dijamin oleh negara sebagai PPIU yang sehat. Oleh karena itu ada kewajiban negara (Kementeriaan Agama) untuk memastikan secara rutin dan mengaudit keuangan, administrative dan perijinan bahwa sebuah PPIU adalah sehat dan layak untuk menyelenggarakan ibadah umroh sebagaimana diatur dalam UU No 8 Tahun 2019 tentang Haji dan Umroh maupun peraturan pelaksana lainnya.

“ Tapi karena FT gagal memberangkatkan ribuan jamaah, maka pemerintah harus pula bertanggungjawab terhadap kegagalan memberangkatkan jamaah tersebut. Akhirnya, melalui PK sebagai upaya hukum luar biasa, aset FT dikembalikan kepada jamaah. Tetapi bagaimana mekanisme pengembaliannya kepada puluhan ribu jamaah, pastilah rumit dan ruwet.
Terkait dengan kasus ini, banyak alasan mengapa negara harus hadir dan harus terlibat dan bertanggungjawab,” ungkapnya.

Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini menyatakan, seharusnya dilakukan proses penyelesaiannya.

Pertama, setelah putusan PK yang menyebutkan asset FT dikembalikan ke jamaah, maka hal tersebut merupakan kewenangan eksekutor, yakni Jaksa Penuntut Umum (JPU). Karena upaya PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan (Pasal 66 ayat 2 UU No 14/1985 tentang MA sebagaimana telah diubah dengan UU No 5/2004), maka timbul pertanyaan apakah di level kasasi terdahulu eksekusi atas aset FT dirampas negara sudah dilaksanakan, baik aset dalam bentuk uang ataupun barang? Jika dalam bentuk uang (bila putusannya belum inkracht) mungkin uang tersebut ada dalam “rekening penampungan” atau “rekening penitipan” (rekening yang tidak berbunga). Jika ternyata, misalnya, aset FT berupa uang yang dirampas untuk negara telah masuk ke kas negara atau “rekening Kemenkeu”, maka secara berjenjang (setelah melalui Kajari Depok, Kajati Jabar dan Kejagung RI), Jaksa Agung memberikan up-date dan koreksi kepada Menteri Keuangan akan adanya putusan PK tersebut. Semua mekanisme itu, tentu saja, melalui pembuatan Petunjuk Pimpinan (Juk Pim). Namun semuanya belum jelas, sebab bunyi putusan PK lengkapnya belum ada karena belum di upload MA sementara beritanya sudah bergulir, dan seolah-olah memberi harapan yang melegakan bagi jamaah. Padahal tidak!

JPU hanya menjadi eksekutor sesuai dengan bunyi putusan PK- nya karena hal ini terkait dengan barang bukti. Umpamanya, apakah aset FT tersebut diserahkan kepada Andika Surachman, Anniesa Hasibuan atau kepada para jamaah? Semua itu tercantum dalam bunyi putusan. Namun demikian karena menyangkut puluhan ribu orang, dengan aset FT yang sangat tidak memadai maka mekanismenya tidak mudah, bahkan bisa timbul konflik antara jamaah dengan jamaah atau jamaah dengan agen umroh.

Kedua, Berdasarkan Pasal 86 ayat 3, 4 dan 5 UU No 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umroh sebenarnya pemerintah dapat memberikan solusi untuk memberangkatkan jamaah umroh yang gagal dengan jumlah yang massif tersebut. Dalam “keadaan darurat atau keadaan yang luar biasa” pemerintah melalui sebuah keputusan Presiden dapat “mengambilalih” untuk memberikan solusi bagi jamaah yang gagal berangkat.

Dalam hal ini Presiden dapat Presiden turun tangan menyelesaikan kasus ini, dengan memberikan perintah yang solutif kepada Menaq Yaqut Cholil Qoumas. Sebab perlindungan terhadap penyelenggaraan ibadah umroh—sebagai pelaksanaan kebebasan melaksanaan ibadah agama dalam Pasal 28 dan 29 UUD 1945—adalah mandat konstitusi yang harus dilaksanakan oleh negara.

Ketiga, yang mengeluarkan ijin PPIU adalah Pemerintah (Kementeriaan Agama/Kemenag RI). Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomer 589 Tahun 2017 yang intinya menyebutkan bahwa seluruh biaya umroh yang telah ditransfer ke rekening FT harus dikembalikan kepada jamaah atau mereka diberangkatkan untuk umroh.

Keputusan Menteri Agama ini dibuat pada masa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Sampai Menteri Agamanya berganti ke Fachrul Razi sampai Menag Yaqut Cholil Qoumas keputusan Menteri Nomer 589/2017 ini hanya sebatas janji diatas kertas.

Keempat, dalam rapat kerja Menteri Agama Fachrul Razi dengan Komisi 8 DPR RI pada akhir tahun 2019 yang dihadiri 21 anggota komisi VIII dari 9 fraksi di DPR RI, Menteri Agama berjanji akan memberangkatkan secara bertahap para jamaah yang gagal berangkat. Tapi nyatanya sampai Menteri Agamanya berganti ke Yaqut Cholil Qoumas janji tetap tinggal janji.

Kelima, yang terpenting lagi adalah, kasus FT menyangkut puluhan ribu orang dan terkait dengan hak fundamental (fundamental rights) warga negara yakni menjalankan ibadah keagamaan (umroh), yangmana pelaksanaan umroh merupakan kegiatan berkelanjutan. Kerugian FT saja dengan 63.310 jamaah sudah mencapai sekitar Rp 1 Trilliun. Jadi sangat beralasan pemerintah untuk turun tangan sebagaimana pemerintah turun tangan dalam kasus PT Lapindo Brantas, PT Bank Century dan PT Jiwasraya dimana negara menalangi para korban. Misalnya, dalam kasus PT Lapindo Brantas, Menteri Keuangan Sri Mulyani berdasarkan Keppres No 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Sembur Lumpur Lapindo memberikan ganti rugi kepada korban lumpur sekitar Rp 751 Milyar. Dalam kasus PT Bank Century pemerintah menalangi (bailed-out) para nasabah sekitar Rp 6,76 Trilliun. Dalam kasus PT Jiwasraya pemerintah menalangi kerugian sekitar Rp 22 Trilliun.

Keenam, keberadaan Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementeriaan atau setingkat menteri yakni Kementerian Agama, Kepolisian RI, OJK, Kemenhukham, BPK, Menko Info, Kejagung, dan lainnya yang dibentuk saat mencuatnya kasus FT tidak maksimal dan tidak bisa juga mencarikan solusi, bahkan kasus kegagalan berangkat jamaah umroh masih berulang sampai saat ini.

“Akhirnya, para jamaah jangan terlalu banyak berharap atas hasil putusan PK tersebut karena aset FT jumlahnya sangat kecil. Assetnya yang disita selama 4 tahun sudah pasti menyusut karena kasus ini terlalu lama terkatung-katung dan pasti tidak mungkin memberangkatkan semua. Kecuali pemerintah memberikan jalan keluar seperti dalam kasus PT Lapindo, PT Bank Century atau PT Jiwasraya, toh jumlahnya tidak sampai Rp 1 T dibandingkan kerugian ketiga PT tersebut,” pungkas Wakil Ketua Dewan Penasehat Indonesian Association of British Alumni (IABA) ini.

Exit mobile version