
(Foto Istimewa/Ilustrasi)
KBK.News, JAKARTA – PWI mengutuk keras kasus pembunuhan Juwita, wartawan media online di Banjarbaru pada akhir Maret 2025.
“Kasus pembunuhan Juwita adalah bentuk kekerasan fisik terhadap seorang wanita yang memiliki profesi wartawan di bidang pers” tulis Plt. Ketua LKBPH PWI Pusat, C. Chelsia Chan dalam siaran pers yang diterima Minggu (13/4/2025)
Melalui siaran pers diketahui bahwa penjahat keji yang melakukan pembunuhan itu adalah seorang anggota
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut bernama Jumran yang berpangkat Kelasi Satu.
Motivasi pembunuhan adalah masalah pertanggungjawaban asmara. Diketahui
bahwa Juwita telah menyuarakan permintaannya agar Jumran bertanggungjawab terhadap kekerasan seksual kepadanya.
Namun, apa pun profesi korban, apa pun alasan pembunuhan dan apa pun jenis pengadilan yang akan menyidangkan kasus ini, baik sipil atau pengadilan militer, PWI meminta agar semua penegak hukum dan para pemangku kepentingan memperhatikan satu hal:
Kasus Ini Tidak Bisa Dianggap Sebagai Salah Satu Kejadian Yang Cukup Disesali Dan Selanjutnya Diperlakukan Sebagai Tindak Pidana Bermotifkan Asmara Saja.
PWI Pusat berpendapat bahwa pembunuhan terhadap Juwita adalah suatu pelanggaran kemerdekaan manusia untuk berpendapat dan mengkomunikasikan pendapat pribadi.
Bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang wanita yang berprofesi sebagai wartawan itu adalah suatu tindakan jahat dan pelecehan terhadap profesi wartawan secara keseluruhan.
Secara profesi, wartawan di Indonesia telah sering menjadi sasaran bulan-bulanan pihak berwenang, baik oleh institusi penegak hukum maupun oleh institusi penjaga kedaulatan bangsa. Kekerasan yang dialami oleh wartawan Indonesia berupa kekerasan non-fisik mau pun kekerasan fisik yang bahkan telah menjadi catatan dengan nokta merah di UNESCO sebagai lembaga dunia yang memonitor giat jurnalistik.
Indonesia sering terlihat dan diwartakan UNESCO dan dunia sebagai negara terbelakang karena aparatnya sering melakukan kekerasan fisik kepada wartawan baik berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan dan bahkan pembunuhan PWI Pusat dapat memberikan data kekerasan yang dilakukan aparat kepada para wartawan di Indonesia sejak awal berdirinya Republik Indonesia hingga awal April 2025 saat pengawal Kapori Jendral Listyo Sigit Prabowo menempeleng pewarta foto yang meliput kegiatan Operasi Ketupat Candi 2025 di Semarang.
Tapi Semua Angka Dan Data Tersebut Tidak Dapat Menggambarkan Berat Dan Berbahayanya Pekerjaan Seorang Wartawan.
Konstitusi Republik Indonesia juga menjamin di dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 bahwa negara menjamin dan memberikan dasar konstitusional bagi perlindungan hak hidup dengan menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable) artinya
tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam kondisi apa pun.
Di dalam Pasal 1 Ayat 6 Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia definisi dari
pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Sudah terlalu lama rakyat Indonesia menjadi penonton yang tak berdaya saat melihat kesewenang-wenangan penguasa dan preman berseragam yang menyalahgunakan kekuasaannya terhadap warganya sendiri.
Oleh sebab itu, Indonesia tidak cukup hanya menyesali kejadian keji ini dan berharap agar kelak ke depannya tidak akan terjadi lagi. Indonesia tidak bisa memperlakukan kasus pembunuhan wartawan Indonesia sebagai suatu musibah yang dapat diambil hikmahnya.
Sekaranglah waktunya bagi para penegak hukum termasuk penjaga kedaulatan bangsa dan negara untuk melakukan bagiannya dalam menjamin keadilan dalam suatu persidangan militer yang terbuka bagi umum, bagi korban, dan bagi warga Indonesia, yang hak-hak dan nyawanya telah tercerabut akibat kekerasan.
Penulis*/ Editor : Iyus