
Rendy (pakai topi)dan Adan temannya (paling kanan) dan dua karyawati nya saat melayani.pengunjunh pasar wadai yang membeli kuliner steambot (Foto Mercy,)
KBK.News, BANJARMASIN – Keberhasilan bukan tentang gelar, tapi tentang kerja keras, ketekunan, dan kegigihan.” Kutipan dari Elon Musk ini seolah menggambarkan perjalanan Rendy (34), seorang pedagang even yang membangun bisnisnya dari nol. Tanpa latar pendidikan tinggi, ia berhasil mengembangkan usaha steambot yang kini meraup omzet jutaan rupiah per hari.
Sebagai anak pertama dari lima bersaudara yang lahir di Padang, Rendy sebenarnya bercita-cita masuk STM. Namun, sejak usia 15 tahun, ia sudah lebih memilih mencari uang sendiri dengan ikut berjualan bersama sepupunya. Dari pengalaman itu, ia mulai mencoba berbagai usaha, seperti jualan ponsel (2006), pakaian (2008-2011), hingga sandal di mal (2014).
Saat pandemi COVID-19 melanda pada 2020, hidupnya berubah drastis. Demi menghidupi keluarga di Tangerang, ia sempat menjadi kuli bangunan. Namun, kondisi semakin sulit di 2021, hingga akhirnya ia memilih pindah ke Banjarmasin, yang menurutnya memiliki lebih banyak peluang ekonomi.
Dari Pedagang Kecil ke Pengusaha Steambot
Berbekal pengalaman berdagang di berbagai daerah—bahkan hingga Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan—Randy akhirnya menemukan peluang baru: jualan steambot. Makanan khas Thailand ini terdiri dari sosis premium (Cedea, Sunfist, Salam Karawaci) yang disajikan dengan kuah khas dan saus Thailand yang menggugah selera.
Kini, Rendy bukan hanya pedagang biasa. Ia sudah memahami strategi bisnis dan masuk dalam komunitas pedagang even nasional, memanfaatkan grup WhatsApp dan Facebook untuk mencari peluang berjualan di event besar.
Dari sinilah ia bisa ikut serta dalam berbagai festival seperti Kalteng Expo dan Pesta Laut Pagatan.
Di Pasar Wadai Ramadan, omzetnya mencapai Rp 3-4 juta per hari, bahkan pernah menyentuh Rp 10 juta dalam sehari. Namun, ia mengakui bahwa bisnis event memiliki risiko besar. “Pedagang even ini seperti berjudi, kalau ramai bisa untung besar, kalau sepi bisa rugi besar,” ujarnya.
Salah satu tantangan terbesarnya adalah biaya sewa tenda yang tinggi. Untuk Pasar Wadai Ramadan saja, ia harus membayar Rp 20 juta. Ke depan, ia berharap ada kebijakan yang membuat harga sewa lebih terjangkau agar pedagang kecil bisa berkembang.
Meskipun rumahnya masih kontrak, dengan mobil dan motor yang sudah dimiliki, Randy tetap optimis. Ia percaya bahwa keberhasilan bukan ditentukan oleh pendidikan formal semata, melainkan kerja keras dan ketekunan.
Penulis/ Editor : Iyus