JAKARTA – Setelah sempat heboh dan dikabarkan nama Soeharto, Presiden Kedua Republik Indonesia tidak dicantumkan dalam SU 1 Maret 1949 di Yogyakarta, kini dalam ternyata ada di Keppres Nomor 2 Tahun 2022, Senin (7/3/2022).
Pemerintah memastikan seluruh tokoh dan pihak yang terkait Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 di Yogyakarta, disebutkan dalam naskah akademik Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 tahun 2022 tentang hari penegakan kedaulatan negara yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 24 Februari 2022.
Termasuk nama Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto, juga tidak luput dicantumkan dalam naskah akademik Keppres tersebut.
Presiden Joko Widodo sebelumnya sesuai Keppres itu, menetapkan 1 Maret sebagai peringatan hari penegakan kedaulatan negara.
Tujuan dari Keppres itu, adalah menanamkan kesadaran pada setiap individu terhadap nilai-nilai sejarah perjuangan yang dilakukan seluruh elemen masyarakat dalam meraih pengakuan dari dunia internasional. Pada waktu itu, Indonesia memerlukan pengakuan dari negara-negara di belahan dunia lainnya, sebagai negara yang memiliki kedaulatan.
Nilai sejarah yang dapat ditanamkan oleh setiap individu antara lain memperkuat kepribadian dan harga diri bangsa yang pantang menyerah, patriotik, rela berkorban, berjiwa nasional, dan berwawasan kebangsaan, serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional.
“Sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia internasional,” dikutip dari Keppres Nomor 2 tahun 2022 yang diunduh dari laman polkam.go.id pada Minggu (6/3/2022).
Ditetapkan tanggal itu sebagai hari penegakan kedaulatan negara, karena tepat pada 1 Maret 1949 para tokoh bangsa melakukan perlawanan atau dikenal dengan Serangan Umum kepada Negara Belanda. Karena negara itu, kerap kali melakukan agresi militer maupun propaganda politik yang merugikan Indonesia.
Ada beberapa tokoh yang terlibat dalam peristiwa bersejarah kala itu, masing-masing memegang peranan yang penting dalam melancarkan serangan umum yang ditujukan kepada Belanda saat itu.
Tokoh yang terlibat kala itu adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai penggagas, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang memerintahkan serangan, Presiden Soekarno, dan Wakil Presiden (Wapres) Mohammad Hatta yang menyetujui sekaligus menggerakkan serangan tersebut.
Kemudian, ada lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa lainnya.
“Merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia,” kutip Keppres.
Rincian Penjelasan Keterlibatan Para Pihak
Secara lebih rinci, dikutip dari Naskah Akademik berjudul “Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2022 menyebutkan, peranan TNI atau yang kala itu disebut dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap pasukan Belanda kala itu.
Berawal dari ditawannya Presiden Soekarno dan Wapres Mohammad Hatta oleh Belanda kala itu. Kemudian, Panglima Soedirman menerbitkan Perintah Siasat Nomor 1 yang diterbitkan pada 12 Mei 1948. Yang bunyinya, memerintahkan setiap angkatan perang untuk melakukan perang gerilya sebagai bentuk perlawasan terhadap kolonialisme yang dilakukan oleh negara Belanda.
Merujuk dari aturan itu, pada 22 Desember 1948, kemudian dibentuk Markas Besar Komando Djawa (MBKD) dengan panglimanya Kolonel Abdul Haris Nasution. Yang membawahi pertama, Daerah Militer Istimewa I meliputi Surabaya, Malang, dan Kediri. Dipimpin oleh Panglima Divisi I/ GM I adalah Kolonel Sungkono.
Kedua, Daerah Militer Istimewa II, meliputi Solo, Semarang (bagian timur), Pati, Bojonegoro, dan Madiun. Dipimpin oleh Panglima Divisi II/ GM II adalah Kolonel Gatot Subroto.
Ketiga, Daerah Militer Istimewa III, meliputi Kedu, Banyumas, Pekalongan, Yogyakarta, dan Semarang bagian barat. Panglima Divisi III/ GM III adalah Kolonel Bambang Sugeng.
Setelah itu dilakukan pembentukan daerah gerilya atau wilayah pertahanan yang disebut dengan Wehrkreise (WK) dan Subwehrkreise (SWK). Wehrkreise berasal dari bahasa Jerman yang berarti lingkaran atau daerah pertahanan. Sistem itu dipakai untuk mempertahankan setiap wilayah kepulauan maupun provinsi. Dalam daerah militer Divisi III, pembagian Wehrkreise adalah sebagai berikut:
Wehrkreise I, dipimpin oleh Letnan Kolonel M. Bachrun. Wilayahnya meliputi Karesidenan Pekalongan, Banyumas, dan Wonosobo dengan markas di desa Makam. Wehrkreise II, dipimpin oleh Letnan Kolonel Sarbini. Wilayahnya meliputi Kedu dan Kendal dengan markas di desa Bruno. Wehrkreise III, dipimpin Letnan Kolonel Soeharto membawahi wilayah Yogyakarta dengan markas di desa Segoroyoso Bantul.
Kemudian, Wehrkreise III dibagi dalam tujuh SWK yakni, SWK 101 di daerah dalam kota Yogyakarta dengan komandan Letnan Marsudi, SWK 102 di wilayah Yogyakarta bagian selatan (daerah Bantul timur) dengan Komandan Mayor Sardjono, SWK 103 di daerah Gamping dengan komandan Letkol Soehoed, SWK 103A di daerah Godean dengan komandan Mayor Vantje Soemoeal, SWK 104 di daerah Sleman dengan komandan Mayor Soekasno, SWK 105 di daerah Gunungkidul dengan komandan Mayor Soedjono, SWK 106 di daerah Kulon Progo dengan komandan Letnan Kolonel Soedarto.
Setelah terbentuknya sistem pertahanan itu, maka Letnan Kolonel Soeharto selaku komandan Wehrkreise III melakukan koordinasi secara intensif untuk menyusun rencana menggempur setiap pos militer yang dimiliki oleh Belanda di sana. Sehingga, pasukan dari negara itu mendapatkan ganjaran yang setimpal atas perbuatannya selama menduduki tanah air dalam beberapa waktu belakangan.
Tepat pada 1 Maret 1949 pukul 06.00 WIB, seluruh pasukan yang berada di posisi bergerak menyerang sasaran yang telah ditentukan. Yogyakarta diserang dari empat jurusan yang melibatkan seluruh pasukan dalam Wehrkreise III dengan tanggung jawab dari sebelah selatan SWK 102, sebelah barat SWK 103A, sebelah utara SWK 104, dan sebelah timur SWK 105. Sedangkan sisanya, SWK 101, SWK 103, SWK 106, Mobil Brigade, dan kesatuan pasukan lainnya membantu keempat SWK tersebut dalam menggempur posisi-posisi Belanda di Yogyakarta. Keseluruhan pasukan yang terlibat diperkirakan sebanyak 2000 tentara.
Dalam pertempuran yang dilakukan melalui Serangan Umum itu, pihak TKR kehilangan 353 tentara yang meninggal dunia, sedangkan pihak Belanda kehilangan 150 tentara yang meninggal dunia. Pengorbanan para tentara itu tidaklah sia-sia. Sebab, Serangan umum 1 Maret 1949 dinyatakan berhasil dengan indikator mendapat banyak diapresiasi oleh banyak tokoh nasional bahkan oleh para pejuang di tanah air.
Setelah peristiwa itu, upaya-upaya melaksanakan Konferensi Meja Bundar (KMB) semakin terbuka lebar. Presiden Soekarno yang berada di Bangka mendapat undangan untuk segera melaksanakan pertemuan itu. Soekarno menjawab dalam surat 4 Maret 1949, perundingan baru bisa dilaksanakan bila kekuasaan RI dikembalikan seperti semula.
KMB ditandatangani pada 2 November 1949. Dalam perundingan itu juga disepakati bahwa Belanda menyetujui pemerintah RI bebas melaksanakan jabatannya di Yogyakarta. Dan pemerintah Belanda akan membebaskan tanpa syarat pemimpin-pemimpin RI yang ditawan. Pada 27 Desember 1949 kesepakatan yang ditandatangani itu sudah dapat diberlakukan.
Informasi lebih lanjut, dapat mengunduh dua dokumen itu dalam link https://polkam.go.id/salinan-keputusan-presiden-nomor-2-tahun-2022-tentang/
Foto: Naskah Akademik berjudul “Serangan Umum 1 Maret 1949 sebagai Hari Nasional Penegakan Kedaulatan Negara” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2022
Sumber : infopublik.id
Foto : krjogja.com