KBK.News, BANJARMASIN – Dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi di Dinas Sosial Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), ahli hukum pidana Zulkahar, SH., MH., menyampaikan pendapat yang menyoroti kejanggalan penetapan barang bukti oleh penyidik. Menurutnya, uang yang telah disetor ke kas daerah sebelum proses penyelidikan tidak semestinya dijadikan barang bukti.
“Menurut saya, mestinya apabila sudah masuk ke kas daerah, tidak bisa dijadikan barang bukti,” ujar Zulkahar, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
Ia menambahkan, jika ada niat baik dari SKPD atau pejabat untuk mengembalikan kerugian negara lebih awal, hal itu seharusnya dihargai, bukan malah menjadi dasar tuntutan.
“Kalau ada temuan dan ada inisiatif dari pejabat untuk mengembalikannya, menurut saya itu patut diapresiasi. Niat baik akan jadi hampa kalau tetap dianggap kesalahan,” lanjutnya.
Ahli juga menekankan pentingnya administrasi yang jelas dalam penyerahan uang negara. “Harus ada tanda terima, dan pihak penerima harus tahu uang itu untuk apa. Subjek hukum yang menerima juga harus jelas,” terangnya.
Terkait audit kerugian negara, ia menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berwenang menyatakannya secara resmi. “Organ lain boleh menghitung, tapi tidak bisa menetapkan besaran kerugian negara,” ujarnya.
Dalam perkara ini, terdakwa M. Saidinnor didakwa bersama Kadis Sosial HST Drs. Wahyudi Rahmat (berkas terpisah) terkait penyimpangan pada kegiatan kader sosial tahun anggaran 2022.
Jaksa Fayel, SH., dalam dakwaannya menyebut negara dirugikan sebesar Rp389 juta. Terdakwa diketahui telah mengembalikan sekitar Rp334 juta ke kas daerah. Namun, menurut jaksa, pengembalian itu tidak sah karena tidak melalui koreksi atau audit dari Inspektorat, BPKP, atau BPK.
Terdakwa dijerat dengan dakwaan primair Pasal 2 Jo Pasal 18 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 UU yang sama.
Penulis*/Editor: Iyus