Banjarmasin – Pengamat Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Ahmad Fikri Hadin SH LLM, mengatakan Gubernur Kalimantan Selatan H Sahbirin Noor terindikasi melanggar asas kecermatan dalam Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) dalam menerbitkan tiga Surat Keputusan Pencabutan izin Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) PT Sebuku Batubai Coal, PT Sebuku Tanjung Coal, dan PT Sebuku Sejaka Coal (Sebuku Grup).
Menurut Fikri, Gubernur Kalsel tampak sangat terburu-buru dalam mengeluarkan SK pencabutan izin tambang milik Sebuku Grup.
“Hal ini dapat dilihat rentang waktu desakan masyarakat yang mengaku menolak tambang dengan terbitnya SK itu hanya beberapa hari, itu aneh. Walaupun secara kewenangan sah-sah aja Gubernur menerbitkan SK tersebut, tapi ada sisi prosedur yang harus dilakukan juga karena dalam UU Administrasi Pemerintahan terbitnya SK harus secara akumulatif memenuhi 3 unsur yaitu kewenangan, subtansi dan prosedur sehingga satu hal saja tidak dipenuhi maka SK dapat dibatalkan oleh Pengadilan,” kata Fikri menjawab wartawan, Minggu (11/02/2018).
Selain itu, imbuh dia, dari sisi prosedur disinyalir SK yang dikeluarkan Gubernur Kalsel itu masih tampak bolong-bolongnya.
“Misalnya tidak ada tanda-tangan di kolom khusus yang seharusnya ditandatangani oleh pejabat di Dinas Pertambangan. Seluruh SK baik pemberian izin maupun pencabutan izin, harus ada tanda tangan pejabat berwenang. Nah, SK Gubernur tentang pencabutan izin milik PT Sebuku Grup ini tidak ditandatangani, ini membuktikan bahwa SK itu tidak melewati proses yang wajar,” tambahnya.
Ditanya soal kabar yang beredar yang menyebut bahwa tidak ada tanda tangan itu karena pejabat Dinas Pertambangan dan ESDM Kalsel tidak mau didorong melanggar hukum, Fikri enggan berkomentar.
“Wah kalau itu kabarnya masih spekulasi, tapi yang jelas tidak ada tanda tangan itu sudah dapat dikatakan melanggar procedural dalam Hukum Administrasi,” pungkasnya.
Sebelumnya, kejanggalan SK Gubernur Kalsel juga diungkap kuasa hukum PT Sebuku Grup, Prof Dr Yusril Ihza Mahenda. Menteri Hukum Perundang-undangan dan HAM era Presiden Abdurrahman Wahid itu menyebutkan banyak kejanggalan.
Yusril menyebut pencabutan izin usaha pertambangan-operasi khusus (IUP-OP) itu diduga kuat karena ada perusahaan lain hendak mencaplok lahan pertambangan tersebut.
“Ada perusahaan besar yang ingin merebut lahan tersebut. Ini bukan soal politik, ini murni penegakan aturan. Kami akan kawal sampai tuntas kasus ini,” ujar Yusril saat mendaftarkan gugatan di PTUN Banjarmasin, Jumat (09/02/2018).
Guru besar ilmu hukum itu mengatakan, alasan pencabutan IUP-OP karena ada desakan warga yang menolak tambang batu bara jelas tak berdasar hukum ataupun asas pemerintahan yang baik. Bahkan, katanya, Gubernur Sahbirin juga tak pernah membuat peringatan sebelumnya kepada tiga perusahaan itu.
“Peringatan dan teguran tak pernah ada ke perusahaan, tahu-tahu langsung dicabut. Ini tak mendasar,” uangkap ahli hukum tata negara tersebut.
Karena itu Yusril meyakini gugatannya akan dimenangkan PTUN. Berkaca dari kasus serupa di daerah lain, sambung Yusril, penggugat menang ketika menempuh jalur hukum.
“Kami yakin memenangkan perkara ini. Sebab, tiga perusahaan mengantongi IUP-OP dengan proses atau tahap yang panjang hingga terbitnya izin,” tambah pria yang pernah menjabat sebagai menteri sekretaris negara itu.
#Berita Rilis