Perubahan memerlukan motor penggerak dan sebesar-besarnya resiko motor penggerak adalah berani bergerak di awal perubahan (Pepatah Barat)
Ketika menyaksikan Program TV swasta tayangan reality dunia pendidikan, ada stage yang menggugah serta memantik keingintahuan kita lebih dalam. Yaitu tentang bagaimana siswa sekolah terpencil menjawab dengan lugu “Tidak Tahu” ketika ditanya siapa gubernur provinsinya? Namun ketika ditanya siapa Gubernur Jakarta anak itu menjawab dengan lantang dan berteriak “JOKOWI..” katanya.
Ya, Jokowi. Memang sosok pria kurus dan bermuka “ndeso” ini menjadi fenomena dalam setengah dasawarsa terakhir ini. Perilaku yang tidak konvensional menjadi ciri khas Jokowi. Perilaku Blusukan, pemotongan jalur birokrasi, pelelangan jabatan, Role Model Jaminan Kesehatan dan Pendidikan dan teruss berlanjut sampai sekarang. Setiap gerakannya merubah muka kepemimpinan konvensional yang selama ini stabil elitis. Tidak salah kemudian media menyebut Jokowi sebagai “Media Darling”. Semua Koran atau media elektronik nasional menugaskan 1 wartawannya untuk mengekor “ritual” Jokowi dari pagi sampai malam. Konon kabarnya salah satu Koran nasional bahkan menugaskan 3 wartawannya selama 24 jam bergantian khusus untuk mengamati gerak-gerik jokowi. Fenomena kepemimpinan seperti ini tentu saja merobek-robek kepemimpinan konvensional. Bak gayung bersambut dengan harapan masyarakat yang mendamba-dambakan kepemimpinan unik dan populer seperti ini.
Dalam konteks regional, yang unik dan menarik, juga terjadi dalam fenomena kepemimpinan di Kalimantan Selatan. Seorang Bupati Banjar berdarah biru “memproklamirkan” restorasi Kesultanan Banjar pada Tahun 2010. Setelah sebelumnya mendirikan Lembaga Adat Kekerabatan Kesultanan Banjar dan melakukan Musyawarah Tinggi Adat dengan para keturunan dan tokoh terpandang Banua Banjar.
Seperti halnya di awal kemunculan Jokowi, Sang Sultan Khairul Saleh juga kenyang dengan cacian, hinaan dan fitnah yang bertendensi bahwa kesultanan hanya bungkus untuk kepentingan yang lebih besar. Fitnah yang paling besar adalah bahwa sang sultan akan melakukan kudeta budaya. Sesuai pepatah anjing menggonggong kafilah berlalu, LAKKB dengan Sultan Khairul Saleh secara konsisten membangkitkan kembali budaya Banjar yang hampir terlupakan oleh zaman. Dari menghidupkan kembali festival budaya banjar tahunan, mengikutsertakan kesenian Banjar di event internasional, membantu seniman budaya Banjar, Pertandingan silat tradisional (kuntau), Peringatan Asyura, Pemberian Gelar Adat dan lain-lain. Namun dari semua ini, menurut penulis yang paling terberat dan berisiko besar adalah penasbishan Sang Sultan.
Tidak sembarang orang yang mampu mengemban beban berat seperti ini dengan segala resikonya. Andai saja penulis yang menjadi SULTAN di tahun 2010 pun Kesultanan ini akan kembali tenggelam. Namun dengan semua tenaga tercurah, waktu, pikiran dan tentunya perasaan, Sultan Khairul Saleh, tetap bersedia berkorban untuk mengusahakan kembali jayanya Kesultanan Banjar setelah ratusan tahun “punah”.
Berbeda dengan di awal periode berdirinya LAKKB. Sekarang masyarakat Kalsel sedikit banyak aware bahwa telah bangkit Kesultanan Banjar. Ini adalah murni dalam konteks kebudayaan dan tidak ada unsur lain sebagai agenda utama. Masyarakat bisa menilai bahwa Kesultanan Banjar modern telah banyak membantu pengenalan dan pembangkitan kembali budaya-budaya daerah yang hampir dilupakan. Salah satu bukti utama adanya pengakuan dari Kerajaan lain di Nusantara dan Negara Jiran serumpun melayu (Malaysia dan Brunei) bahwa Kesultanan Banjar telah bangkit dan selalu diundang dalam forum-forum resmi kerajaan. Seperti Forum Silaturahmi Kerajaan Nusantara (FKSN), forum ini didorong oleh Pemerintah Pusat untuk menghidupkan kembali budaya-budaya daerah yang menjadi entitas daerah masing-masing.
Dua tahun setelah berdirinya Kesultanan Banjar, LAKKaS dengan sumber daya mandiri dan menggunakan enumerator survey Mahasiswa, melakukan riset ilmiah dengan mensurvei penerimaan masyarakat terhadap Kesultanan Banjar era modern. Hasilnya cukup positif. Mayoritas responden yang dipilih secara acak dari seluruh Kabupaten/Kota di Kalsel menyatakan menerima dan setuju berdirinya kembali kesultanan Banjar, sebanyak 62 % (akseptabilitas tinggi). Rata-rata mereka mengetahui keberadaan kesultanan Banjar utamanya melalui media massa (61 %) (Pers Release 08 Januari 2012, Permata Inn Hotel).
Memang setelah ditarik benang merah, penerimaan masyarakat lebih cenderung kepada telah adanya upaya positif acara tahunan Kesultanan Banjar konsisten menghidupkan kembali Budaya Banjar. Sampai saat ini pihak Kesultanan Banjar tidak pernah secara khusus melakukan sosialisasi terbuka dan langsung kepada masyarakat. Inilah penyebab masyarakat hanya mengetahui tentang Kesultanan Banjar hanya dari media massa.
Cibiran dan Hinaan lambat tapi pasti telah berubah menjadi pujian. Masyarakat sudah sadar bahwa era feodalistik yang menganggap bangsawan diatas derajatnya dari masyarakat biasa sudah lewat. Kesultanan Banjar tida hadir untuk menghidupkan kembali budaya feodalistik namun sebagai pencetus dan katalisator budaya-budaya Banjar untuk kembali hidup dan diwariskan ke anak cucu.
Masalah gelar Sultan atau penunjukan Sultan pun tidak menjadi soal. Yang menjadi soal sekarang adalah, ketika Sultan Khairul Saleh mau berkorban untuk Budaya Banjar kenapa kita lantas antipati. Mestinya kita bertanya balik apa yang sudah kita korbankan untuk Banjar tercinta ini. Sewajarnya masyarakat Banjar yang dulu pernah bersatu padu dan berjaya dalam wadah Kesultanan Banjar hidup dan menghidupi kembali jiwa-jiwa Banjar kita. Ada istilah Jangan becakut papadaan, haram manyarah , waja sampai kaputing harus kita junjung. Biarlah masyarakat yang menjadi penilai atas ikhtiar pengabdian yang dilakukan.
Eddy E Jaya, SH, SE, S.PI, MS
Direktur Eksekutif LAKKaS (Lembaga Kajian Kemanusiaan)