Calon Gubernur (Cagub) Kalsel Denny Indrayana Tulis Surat Terbuka Mengenai Menegakkan Prinsip Tauhid Anti Politik Uang dan Anti Politik Curang, Serta Sidang di MK Puncak Juang, Selasa (5/1/2021).
Berikut Surat Terbuka Calon Gubernur Kalimantan Selatan, Denny Indrayana :
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Banyak yang menakunakan ke ulun perkembangan pemilihan gubernur Kalsel. Ketimbang menjawab satu-persatu, izinkan ulun mengirimkan surat terbuka ini kepada pian seberataan. Ulun yakin Haji Difriadi sepakat dengan isi surat ini, karena semuanya merangkum pikiran-pikiran yang sering kami diskusikan dan perjuangkan.
Dalam surat terbuka ini, sekali lagi ulun menegaskan bahwa yang kita ingin rebut dan pertahankan bukan semata-mata kemenangan di Pemilihan Gubernur Kalsel. Itu sudah pasti. Kemenangan tentu ingin kita raih. Namun, yang lebih penting lagi adalah, kita ingin menegaskan cara-cara berpolitik yang religius, yang bermoral, penuh dengan pesan-pesan kebaikan, penuh dengan semangat menegakkan prinsip pemerintahan yang baik (good governance), karena itu harus melalui penghormatan atas prinsip pemilu yang jujur dan adil, tanpa kecurangan.
Berserah DIRI, Menang SAJA bukan Tujuan
Pendopo kecil itu hening. Pertanyaan Habib, membuat saya berfikir. “Apakah pian siap kalah Prof?” Pencoblosan tinggal beberapa hari lagi, yang selama ini ulun rawat adalah kesiapan untuk menang. Banyak sahabat yang memberikan dorongan, “Yakin aja, menang!” Tiba-tiba datang pertanyaan untuk siap kalah. Ulun tertegun beberapa saat, dan menjawab, “Ulun siap kalah. Ulun berserah hasilnya kepada Allah SWT. Menang atau kalah adalah keputusan Allah Ta’ala. Yang pasti ulun berikhtiar maksimal gasan menang”.
Habib tersenyum bijak. “Bujur sudah. Serahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa. Orang yang siap kalah, akan lebih siap lagi untuk menang. Yang intinya juwa: berserah diri. Kita ini bukan siapa-siapa. Sang Maha Penentu adalah Illahi Rabbi. Luruskan niat, insya Allah segala sesuatunya dimudahkan”.
Siang itu, di rumah Habib, ulun mendapatkan pelajaran dan tambahan keyakinan, bahwa tujuan pemilihan gubernur ini bukan semata “Kalah-Menang”. Tujuan dan esensinya lebih jauh dari itu, meresapi, mempelajari, dan melaksanakan (lagi) nilai-nilai kebaikan dalam hidup, bahwa yang baik dan benar harus diperjuangkan, dengan cara-cara yang baik pula. Kebaikan tidak akan lahir dari keburukan. Kemenangan memang akan membawa kesenangan, dengan syarat utama, jika kemenangan itu diraih tanpa kecurangan. Menang tapi curang, akan membawa kemudharatan, kesia-siaan, sama sekali jauh dari kemanfaatan.
Menang saja bukanlah tujuan. Menjadi gubernur, bukanlah tujuan utama. Awas, jangan salah paham! Tentu ulun handak menang, dan duduk sebagai gubernur Kalsel. Segala daya-upaya ulun kerahkan. Tulak sebelum shubuh, bulik selepas tengah malam. Semuanya adalah bagian dari ikhtiar kesungguhan demi meraih suara rakyat sebanyak mungkin. Tetapi, tujuan akhirnya bukanlah semata-mata duduk menjadi Gubernur Kalsel.
Karena, kalau itu tujuan akhirnya, maka ulun tidak akan pernah becalon. Atau, kalaupun becalon, ulun akan menghalalkan segala cara, demi mencapai tujuan pamungkas itu. Tujuan utamanya bukan itu. Tujuan akhirnya adalah ibadah. Menegakkan nilai-nilai kebenaran, melawan segala jenis kebatilan.
Kalau tujuannya semata-mata untuk menang, maka sudah bisa diduga, ulun ngalih becalon. Pilkada kita sudah terlanjur sangat mahal. Mau menjadi calon gubernur perlu puluhan, bahkan ratusan miliar.
“Memangnya kamu punya uang berapa?” tanya salah satu pemred berita online, ketika mendengar niat saya untuk maju di Pilgub Kalsel.
“Tentu tidak punya uang banyak,” jawab saya mantap. “Justru itulah saya harus maju. Saya ingin menegaskan, bahwa maju pilgub itu tidak perlu uang banyak. Logistik pasti penting. Tetapi uang bukan segalanya. Kita harus mematahkan mitos, bahwa uang adalah penentu kemenangan”.
Itu adalah perbincangan kami di pertengahan 2019, ketika semua mafhum bahwa bertarung pilgub di Kalsel adalah nyaris mustahil. Karena yang dilawan adalah petahana dengan segala perangkat birokrasinya, di tambah kekuatan modal yang nyaris “Tak Berseri”. Terlebih ketika faktanya setahun kemudian, pasangan calon wakil gubernurnya adalah kandidat yang oleh KPK diumumkan sebagai kandidat terkaya se-Indonesia raya. Tetapi ulun, tetap memutuskan untuk maju, kenapa?
Menegakkan Prinsip Tauhid, Maju Bukan Pilihan, Tetapi Kewajiban
Banyak alasan kenapa ulun memutuskan maju sebagai calon gubernur, dengan segala resikonya. Salah satunya adalah untuk menegakkan prinsip tauhid, bahwa tidak boleh kita ber-Tuhan—tidak boleh kita takut—selain kepada Allah.
Itulah fakta kuat dalam politik Pilgub Kalsel. Tidak ada yang berani maju melawan petahana. Rata-rata para tokoh berlomba mendeklarasikan diri, siap menjadi calon wakil gubernur petahana. Tidak satu pun yang berani maju menjadi kandidat alternatif. Semuanya punya kekhawatiran dan kalkulasi yang sama: sulit untuk menang. Lebih jelasnya, semua punya ketakutan yang sama. Petahana terlalu kuat. Sebenarnya bukan pribadi petahana, tetapi jaringan di belakangnya. Selain segelintir elit birokrasi yang terlanjur menjadi hamba sahaya, ada kelompok bisnis yang sudah terlanjur besar dan berkepentingan agar usahanya tidak terganggu. Merekalah pendukung petahana sesungguhnya. Mereka, khususnya para pemodal dengan jaringan menggurita kemana-mana, membuat siapapun berfikir panjang, takut untuk maju sebagai penantang.
Lalu siapa ulun? Berani-beraninya maju tanpa jaringan yang kuat di Kalsel, tanpa modal finansial yang cukup untuk bertarung. Ulun memang bukan siapa-siapa dalam politik Kalsel, namun ulun yakin: takut selain kepada Allah melanggar prinsip tauhid.
Melihat tanah kelahiran yang masih bergelimang banyak masalah. Melihat banyak dangsanak yang hidup di tengah himpitan kemiskinan, padahal bertongkang-tongkang batubara bernilai ratusan triliuan terus disedot dari bumi Banua, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengucapkan bismillah.
Karena memperjuangkan prinsip Tauhid, sebab ingin melawan ketidakadilan ekonomi, politik dan hukum yang merajalela, maka maju sebagai calon gubernur Kalsel bukanlah pilihan, tetapi ianya adalah kewajiban.
Say No to Politik Uang
Setelah keputusan maju dipancangkan, deklarasi dicanangkan, maka kemenangan yang ditargetkan bukan semata suara rakyat tertinggi, tetapi juga pendidikan politik yang hakiki. Karena itu, semua langkah strategi disesuaikan dengan etika politik adiluhung. Yang wajib direbut adalah daulat rakyat, bukan daulat uang. Karena itu mahar politik dilawan, serangan fajar nyata-nyata bukan pilihan.
Sedari awal, kami menolak tegas praktik haram money politics. Saya diperingatkan banyak konsultan ternama, bahwa survey di Kalsel menunjukkan praktik jual-beli suara sudah terlalu parah. Sebagai penyakit kanker, stadiumnya sudah mematikan. Tidak mudah disembuhkan. Tetapi dengan keyakinan bahwa kebenaran harus ditegakkan, maka kami terus berkeliling bertemu dengan semua tokoh agama dan tokoh masyarakat, meyakinkan lagi, bahwa serangan fajar harus dikurangi signifikan, bahkan harusnya ditiadakan. Pastinya, bukan perjuangan yang mudah.
“Parai amun kededa duitnya”.
“Kada kawa menang amun kada bededuitan”.
Serta berbagai ungkapan spontan sekelompok masyarakat, yang berharap kami berbagi uang, terus berdatangan. Tidak ada pilihan, selain terus dengan sabar menjelaskan bahwa berpolitik dengan jual beli suara hanya akan membawa kesengsaraan. Kandidat yang menghalalkan politik uang akan terjerat utang modal pencalonan, dan akhirnya semua sistem bermasyarakat akan terjebak dalam kemudharatan riba politik. Yaitu ketika modal politik dan bunganya mesti dikembalikan, maka yang hadir dari hasil pilkada bukanlah pemimpin yang amanah, melainkan para koruptor yang berjuang siang-malam mencari celah patgulipat. Mereka lelah memutar otak, bukan untuk mensejahterakan rakyat, tetapi mencari cara menilep uang negara, karena debt collector politik terus menagih pembayaran modal pencalonan yang sebelumnya dipinjamkan.
Politik uang bukan harus dilestarikan, tetapi harus dibumihanguskan. Kekuatan untuk menetralisirnya tidak bisa diharapkan datang dari para politisi necis berdasi. Mereka sudah kadung tercebur ke kubangan lumpur hitam rentenir politik. Yang bisa melawan tidak lain, adalah rakyat pemilih sendiri. Kita harus memastikan bahwa yang terpilih menjadi pemenang pemilu, bukanlah yang menghamburkan uang serangan fajar. Yang dipilih di bilik suara, yang menjadi pemenang adalah para calon yang amanah, yang baliho dan spanduknya tidak seberapa, tetapi terus meluruskan niat ikhlas, tulus mengabdikan diri untuk kepentingan rakyatnya, bukan demi segelintir pemodal yang semata-mata ingin mengeruk kekayaan alam banua, tanpa memperhatikan kelestarian alamnya, tanpa merenungkan bagaimana kesejahteraan rakyatnya.
Menang Tanpa Curang
Ketika kita terbebas dari bertuhan pada kekuatan uang, maka semua langkah menjadi mudah dan ringan. Menang dalam pemilu pun akan terpagari dengan cara politik yang beretika. Bertindak curang, jangankan dilakukan, terbersit pun tidak dalam pikiran.
Itu sebabnya kita melawan setiap tindak curang sampai titik peluh penghabisan. Bukan karena kita tidak siap kalah, tetapi karena kita tidak pernah rela kecurangan menjadi pemenang.
Bolehkah membagi sembako di tengah pandemi Corona, di tengah banjir yang melanda? Bukan hanya boleh, kita sendiri melakukannya. Tetapi etika politik tetap kita junjung tinggi. Atribut politik kita haramkan ikut dibagikan dan dikenakan.
“Prof, di bungkusan sembako, kita bagikan juga kalender pian, bolehlah?”
“Jangan! Kita membagi sembako untuk tujuan kemanusiaan. Lepaskan semua atribut politik. Tidak semuanya berkait dengan kalkulasi suara. Berpolitik itu harus juga menjunjung etika”.
Demikian jawaban saya ketika relawan meminta izin membagi atribut kampanye di paket sembako. Paket sembako kami bagikan polos, tanpa embel-embel atribut politik apapun.
Etika politik adiluhung harus terus digaungkan. Meskipun uang yang digunakan adalah uang pribadi sendiri—tanpa uang negara, tidak kita biarkan kepentingan politik pencitraan pilgub masuk ke dalam paket-paket sembako.
Itu sebabnya kita setuju dengan peringatan keras Ketua KPK, Mendagri, Ketua MPR, Ketua Bawaslu, Komisioner KPU, yang melarang cakada (calon kepada daerah) petahana yang memanfaatkan bansos sembako untuk pencitraan politik dirinya.
Itu sebabnya, kita terus melaporkan pencitraan diri gubernur petahana ke Bawaslu Kalsel, meskipun putusannya secara aneh bin ajaib, masih jauh dari harapan. Bagi kita, bukan putusan Bawaslu itu yang menjadi tujuan, tetapi pesan moral bahwa bansos Covid-19 tidak boleh disalahgunakan.
Paket sembako bertulis “Paman Birin”, “Donasi Covid-19”, “Paman Birin Perduli”, “Bergerak” atau tulisan apapun menjadi haram dibagikan ke rakyat pemilih, karena dia adalah bentuk kampanye pencitraan diri gubernur petahana. Bakul purun, kardus, plastik sembako demikian adalah manipulasi bansos Covid-19 menjadi kampanye terselubung gubernur petahana. Terlebih di dalam paket itu, terselip nyata beras dengan stiker gambar, nama dan tagline “Bergerak” yang secara terang-benderang adalah materi kampanye dari gubernur petahana. Itu adalah pelanggaran nyata atas UU Pilkada, yang sanksinya diatur jelas adalah pembatalan alias diskualifikasi sebagai paslon kepala daerah.
Nama “Paman Birin”, gambar diri, dan tagline “Bergerak”, adalah tiga item yang secara masif, terstruktur, dan sistematis disebarkan di setiap pelosok kalsel. Tiga materi kampanye itu disebarluaskan melalui paket sembako, spanduk, baliho, tandon air COVID-19, kalender, mobil dinas, bus pariwisata, mobil pengangkut sampah, baju kaos kegiatan pemda, topi, masker, dan berbagai media lain, yang semuanya menunjukkan penggunaan kewenangan, program, kegiatan, pendanaan, serta fasilitas negara yang disalahgunakan untuk kepentingan kampanye gubernur petahana.
Kampanye dengan dana dan fasilitas negara itu adalah modus lama petahana yang diulang di Kalsel, dan banyak tempat di Indonesia. Modus curang demikian tentu saja harus dihentikan. Kalaupun menang suara, misalnya, maka petahana demikian harus dibatalkan pencalonannya. Pada titik inilah, penegakan hukum yang adil dan efektif, harus menjadi solusi. Mahkamah Konstitusi menjadi harapan untuk keadilan hukum hadir dan bersaksi.
Berjuang Sampai Titik Peluh Penghabisan
Untuk menegaskan nilai-nilai Tauhid, Antipolitik Uang, Antipolitik Curang, maka ujung perjuangan harus dituntaskan, melalui ikhtiar maksimal di Mahkamah Konstitusi. Usaha ini adalah langkah konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan pemilu. Kami tidak menggunakan cara-cara laporan ke polisi—meskipun banyak indikasi pidana korupsi, pemalsuan ijazah, dan tindak pidana pemilu atau pidana umum lainnya yang amat kuat pembuktiannya. Kami memilih jalur konstitusional ke Mahkamah Konstitusi, untuk mempertanyakan proses dan hasil pilgub Kalsel. Kami memilih tidak—lebih tepatnya, belum menggunakan jalur tindak pidana lainnya tersebut. Namun, jika akhirnya diperlukan, maka kami tentu tidak akan segan-segan untuk melawan, mengerahkan seluruh langkah hukum pidana maupun perdata, demi menegakkan prinsip perjuangan amar maruf nahi munkar.
Gerakan dan wacana politik yang merendahkan langkah konstitusional kami ke MK, semakin menunjukkan pendidikan politik masih perlu diberikan kepada beberapa oknum elit partai, LSM “bayaran, maupun para BuzzerRp. Kami diframing tidak legowo, sambil menyatakan langkah “mengalah” lima tahun yang lalu oleh salah satu kandidat (bukan paslon), adalah pilihan bijak. Mereka menyembunyikan fakta kolutif, bahwa langkah tidak maju ke MK lima tahun lalu itu dilakukan di tengah-tengah ancaman kasus hukum, serta imbalan peluang bisnis yang nilainya ratusan miliar rupiah.
Hal yang sama tentu tidak akan kami lakukan. Bukan karena kami tidak legowo, tetapi kami tidak akan menjual suara rakyat yang nyaris 850 ribu, berapapun di tawar harganya. Bagi kami, suara rakyat itu bukan barang jualan. Terlebih lagi, harga diri kami tidak untuk diperjualbelikan. Kami bukan barang dagangan. Meskipun tidak bergelimang harta, kami tidak akan menjual diri, demi mengalah untuk tidak maju ke MK. Apatah lagi perjuangan ke MK itu adalah sesuatu yang layak dilakukan untuk menegakkan kebenaran, untuk menegakkan prinsip pemilu yang jujur dan adil, tanpa kecurangan.
Kepada seluruh rakyat Kalsel, kami minta izin, untuk terus melanjutkan perjuangan ini, sampai putusan MK yang sifatnya “final and binding”, terakhir dan mengikat. Setelah putusan MK itu, tidak ada lagi proses hukum dan politik yang tersedia. Apapun putusan MK, itulah yang menjadi penentu akhir, siapa yang menjadi Gubernur Kalsel periode selanjutnya.
Karena itu, kami membawa semua bukti—termasuk saksi-saksi kunci ke hadapan Majelis Hakim Konstitusi Yang Mulia. Kami menyerahkan pula “Bakul Purun” dan beras dengan gambar dan nama petahana “Paman Birin”, serta tagline “Bergerak”, untuk dinilai oleh Sembilan Dewa Konstitusi, bahwa kesemuanya adalah kampanye terselubung yang dilakukan petahana dan jajarannya, dengan menyalahgunakan suasana – dan dana – pandemi, serta berlindung di balik tameng bansos Corona-19.
Sidang pendahuluan MK baru akan dimulai pada akhir Januari. Sidang utamanya di akhir Februari, dan putusannya di pertengahan hingga akhir Maret 2021. Dalam rentang kurang dari 3 (tiga) bulan ini, proses pilgub Kalsel masih akan bergulir. Secara resmi, tahapan memang belum selesai. Belum ada pemenang di Pilgub Kalsel. Karena itu, semua harus bersabar dan menahan diri. Kami akan terus melakukan penguatan advokasi sidang MK. Bukan hanya dengan menghadirkan, bukti dan saksi kunci, tetapi juga dengan menjelaskan argumentasinya ke rakyat Kalsel—termasuk melalui “Surat Terbuka” ini. Karena, sekali lagi, yang lebih penting adalah pendidikan politik adiluhung, tanpa politik uang, tanpa politik curang, berlandaskan ketauhidan yang berserah kepada Illahi rabbi, sebagai dasar perjuangan kita gasan Banua yang lebih beriman, adil, dan sejahtera.
Semoga Allah SWT selalu melindungi dan memberikan rahmat-Nya bagi kita seberataan.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Sentul, 3 Januari 2021
Hormat ulun,
Prof. H. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.