JAKARTA – Mantan Ketua MK, Jimly Assiddiqie menegaskan tiga hakim PN Jakpus keras yang menjatuhkan vonis meminta KPU menunda Pemilu 2024, layak dipecat, karena tidak profesional, Jumat (3/3/2022).
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mendapat kritikan keras dari para ahli hukum, karena mengabulkan gugatan Partai Prima yang gagal jadi peserta Pemilu 2024. Salah satu amar putusannya yang sangat kontroversial, yakni hakim PN Jakpus meminta KPU sebagai tergugat untuk menunda Pemilu 2024, Kamis (2/3/2023).
Ketiga hakim PN Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis tersebut masing – masing Ketua Majelis hakim T. Oyong dengan anggota hakim H. Bakri dan Dominggus Silaban.
Menanggapi putusan hakim PN Jakpus ini, mantan Ketua MK Jimly Assiddiqie menegaskan, bahwa ketiga hakim tersebut sangat layak dipecat.
“Hakimnya layak untuk dipecat karena tidak profesional dan tidak mengerti hukum pemilu serta tidak mampu membedakan urusan private (perdata) dengan urusan-urusan publik,” kata Jimly Asshiddiqie seperti dilansir dari kumparan, Jumat (3/3/2023).
Menurut Jimly, pengadilan perdata harus membatasi diri hanya untuk masalah perdata.Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU. Sengketa proses Pemilu, menurut Jimly hanya berwenang diadili oleh Bawaslu dan PTUN, bukan pengadilan perdata. Sedangkan sengketa hasil Pemilu hanya MK yang berwenang.
“Sanksi perdata cukup dengan ganti rugi, bukan menunda pemilu yang tegas merupakan kewenangan konstitusional KPU,” kata Jimly.
Karena itu beber Jimly Assiddiqie harus diajukan banding atas putusan hakim PN Jakpus yang tidak profesional tersebut.
“Sebaiknya putusan PN ini diajukan banding dan bila perlu sampai kasasi. Kita tunggu sampai inkracht,” ujar Jimly Assiddiqie yang juga anggota DPD RI ini.
Kemudian kritik keras dan lantang disampaikan mantan Ketua MK Mahfud MD. Pada tweet-nya di Twitter ia menuliskan, bahwa vonis PN Jakpus tentang penundaan pemilu ke tahun 2025 harus dilawan, krn tak sesuai dgn kewenangannya.
“Ini di luar yurisdiksi, sama dengan Peradilan Militer memutus kasus perceraian. Hakim pemilu bukan hakim perdata. Vonis itu bertentangan UUD 1945 dan UU, bahwa Pemilu dilakukan setiap 5 tahun,” tegas Mahfud MD yang juga Menko Polhukam ini.