Sejumlah akademisi memberikan tanggapan atas somasi dari Tim BirinMu yang ditujukan kepada Dosen Uniska Uhaib yang dikenal sangat dalam menyikapi persoalan politik di Kalsel, Sabtu (19/6/2021).
Argumentasi Peneliti Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik Banjarmasin, Muhammad Uhaib As’ad menolak hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilgub Kalsel berbuah somasi. Sebab,Tim Kuasa Hukum Sahbirin Noor-Muhidin (BirinMu) melayangkan peringatan keras ke dosen Universitas Islam Kalimantan (Uniska) itu atas sejumlah kritikannya lewat media massa.
Pertama mengenai pernyataan Uhaib yang berbunyi, “Ini bukan soal menang kalah, tapi soal proses demokrasi PSU yang benar-benar diwarnai kecurangan, politik uang, mobilisasi massa, dan hilangnya hak pemilih warga. Malpraktik PSU 9 Juni ini terjadi di mana-mana. Problem demokrasi PSU ini sangat wajar. Dan bahkan wajib dibawa ke MK.”
Pernyataan doktor jebolan Universitas Brawijaya itu dimuat sejumlah media massa daring pada Selasa, 15 Juni 2021.
Pernyataan berikutnya berbunyi, “Seandainya PSU ini berjalan secara berintegritas, bermartabat, tidak diwarnai politik uang, tidak diwarnai praktek-praktek kriminal politik dan mafia demokrasi, tentu saja H2D [Denny-Difriadi, red] beserta seluruh pendukungnya dapat menerima hasil PSU. Namun ini soal menegakkan proses pemilu yang baik, yang terpenting adalah bagaimana kita mengusung nilai-nilai demokrasi yang bermartabat.”
Terakhir, mengenai pendapat Uhaib yang menggambarkan, bahwa hasil PSU Pilgub Kalsel 2020 l, pada 9 Juni 2021 lalu belum mencerminkan daulat rakyat, melainkan masih menjadi sebuah refleksi duitokrasi.
“Uang masih men-drive politik lokal di Kalsel, khususnya di wilayah PSU, dan prinsip demokrasi belum menjadi sebuah common-sense,” kata Uhaib dalam pernyataannya.
Oleh Tim BirinMu, pernyataan-pernyataan itu secara langsung atau tidak langsung dianggap sebagai tuduhan kepada paslon BirinMu, beserta tim kampanye, dan para pendukungnya. Mereka mempertanyakan dasar dan bukti pasti yang dimiliki Uhaib.
“Bahwa saudara Uhaib dalam pemberitaan tersebut tidak satupun ada tercantum kata “menduga/mengira”. Oleh karenanya dengan adanya pernyataan pernyataan dalam pemberitaan tersebut, seolah-olah hal yang saudara kemukakan tersebut sudah pasti, dan nyata terbukti terjadi. Maka, jelas-jelas saudara Uhaib telah mengabaikan asas praduga, sebelum memberikan pernyataan ke media,” ujar Ricky Teguh, salah satu kuasa hukum yang mewakili Tim BirinMu.
Pernyataan Uhaib itu dinilai menimbulkan kerugian bagi paslon, tim kampanye, dan para pendukung BirinMu yang disebut selama ini telah berjuang dan berusaha memenangkan PSU dengan cara-cara yang baik dan sesuai koridor hukum.”
“Jauh dari apa yang telah saudara Uhaib tuduhkan,” jelas Ricky yang dikonfirmasi media ini, Jumat (18/6) malam.
Lebih jauh, pernyataan yang dilayangkan Uhaib di media massa telah memunculkan gejolak keresahan bagi masyarakat Kalsel.
“Oleh karenanya apabila saudara tidak dapat mempertanggungjawabkan dan membuktikan secara konkrit, hal ini semata-mata akan memicu keributan dan keonaran di masyarakat belaka karena pernyataan saudara Uhaib sudah melibatkan ribuan pemilih yang terlibat dalam proses PSU 9 Juni lalu,” sambungnya.
Karenanya, Tim BirinMu meminta agar Uhaib meminta maaf kepada masyarakat Kalsel melalui tiga media berita cetak dan 10 media berita online di Kalsel serta sekurang-kurangnya 3 media cetak dan media online nasional.
“Bahwa kendati apabila ternyata setelah adanya peringatan keras atau somasi ini, saudara bersikeras dan bersikukuh dengan pernyataan-pernyataan tersebut, maka sudah sepatutnya kami akan melanjutkan persoalan ini ke ranah hukum baik secara perdata atau pidana,” demikian surat somasi yang ditandatangani oleh Ricky Teguh, dan kuasa hukum Tim BirinMu lainnya, Rivaldi tertanggal 17 Juni 2021.
Dimintai pendapatnya, Novi Abdi, Ahli Pers dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai terlalu berlebihan somasi yang dilayangkan oleh tim hukum paslon gubernur tersebut.
Terlebih, somasi serupa pernah terjadi ke Fahrianoor, akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat, November 2020 lalu. Somasi kala itu juga karena pernyataan Fahri di salah satu media massa.
Menurut Novi, jika ada pihak yang keberatan atas pernyataan atau pemberitaan di media massa mestinya tak perlu sampai menyiapkan langkah hukum.
“Kalau ada yang tidak disetujui dalam pemberitaan, maka pihak yang tidak sepakat dan tidak setuju, silakan sampaikan versinya tentang hal yang dipersoalkan. Gunakan hak jawab,” jelasnya.
Somasi, kata Novi, justru mengindikasikan adanya upaya pembungkaman pada suara kritis di forum publik.
“Hari ini forumnya adalah media. Maka yang tidak sepakat dengan pendapat Uhaib sebagai ilmuwan, sebagai dosen, sebagai resi dan guru, silakan bantah dia di media yang sama,” ujarnya.
Kepada semua pihak yang merasa dirugikan pers untuk menempuh prosedur penyelesaian sengketa pers seperti telah diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan Peraturan Dewan Pers.
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum ULM Prof Dr Hadin Muhjad menjelaskan kebebasan akademik secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
“Di pasal 1 ada menyebutkan tentang pengertian tentang kebebasan akademik, kebebasan civitas akademika dalam perguruan tinggi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab, jadi adanya kebebasan itu diberikan hukum/UU kepada seseorang di perguruan tinggi yang memiliki otoritas terhadap ilmu yang diasuhnya dan dikembangkannya,” ujar Hadin.
Sehingga, terangnya, pendapat civitas akademika terkait ilmunya itu secara otomatis telah diakui oleh hukum.
“Jadi boleh dia berpendapat sesuai otoritas dan kompetensinya, misalnya pertanian, dia bisa berpendapat di bidang itu. Apakah bertentangan tidak ada masalah karena itu sesuai ilmunya, dia mengembangkan ilmunya. Tapi ada pertanggungjawabannya, ada akuntabilitasnya, supaya kebenaran ilmu pengetahuan yang dikembangkannya itu kebenaran yang bisa diuji,” terangnya.
Tapi, Hadin menekankan kebebasan akademik harus mampu dipertanggungjawabkan. Apabila ada perbedaan pendapat maka perlu dibuka forum.
“Jika argumentasinya ditentang buka forum, jadi mereka yang keberatan harus hadir di forum. Ilmu itu selalu menghadirkan dua kubu, pro dan kontra itu wajar. Kebenaran itu muncul ketika pro dan kontra itu saling menjelaskan argumentasi yang tadi bertentangan,” katanya.
Selagi tetap dalam koridor ilmiah, siapa saja tanpa terkecuali boleh menuntut pertanggungjawaban argumentasi civitas akademika. Lantas, tepatkah argumentasi dibalas dengan somasi?
“Somasi itu ke arah hukum, jadi harusnya masing masing pihak yang tidak sependapat mengajukan argumentasi. Seharusnya bukan somasi tetapi argumentasi dalam forum untuk menemukan kebenaran,” ujar Hadin.
Senada, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Prof Dr Syaiful Bakhri mengatakan pendapat dosen telah dijamin dalam kebebasan akademik.
“Sepanjang pendapatnya itu rujukannya bisa ditemukan, itu dijamin dalam kebebasan akademik. Tetapi kalau tidak ada rujukannya, atau sangat subjektifitas atau cenderung mengganggu ketertiban maka negara atas nama ketertiban bisa mengambil tindakan. Paling ringan ya diingatkan. Kemudian menyampaikan kepada komunitas ilmunya apakah melanggar kode etik,” ujar Syaiful dihubungi terpisah.
“Jadi cara menyampaikannya juga harus ditentukan dalam sebuah seminar, dalam sebuah diskusi publik, atau ditulis hasil penemuan di jurnal jurnal skala nasional maupun internasional itu sangat penting memberikan pencerahan kepada masyarakat,” sambungnya.
Syaiful tampaknya kurang sepakat penggunaan somasi untuk membalas argumentasi.
“Kalau pendapat, ya itu mesti harus (dibalas) argumentasi dengan pendapat juga. Kalau mau diadili akademisi itu ke komunitas ilmunya, jadi tidak boleh menyomasi kecuali apabila itu menyinggung perasaan emosional pribadi, ada penghinaan di dalamnya, ada penghasutan, dan itu bukan ilmu itu pidana,” ujarnya.
Suatu pendapat tentu saja bisa multitafsir, atau bukan menjadi kebenaran mutlak. Pihak yang keberatan, kata dia, tak perlu serta merta melayangkan somasi sepanjang tidak ada suatu gangguan-gangguan terhadap dirinya atau komunitas.
“Kalau tidak ada gangguan buat apa somasi. Argumentasi itu pun ada sandaran ilmunya, ada teksbooknya, ada teorinya, benar menurut teksbook teori a belum tentu juga teksbook atau teori B benar. Itu namanya paradigma, kecenderungan,” terangnya.
“Kebenaran mutlaknya kan ada pada Tuhan bukan pada ilmu itu. Ilmu hanya sebuah paradigma, kebenaran hakiki pada Tuhan, ngapain bertengkar soal itu kalau soal diskusi ilmiah ya tidak perlu. Kalau sampai disomasi kan berarti mencederai makna dari kebebasan mimbar akademik,” ujar guru besar asal Kalimantan Selatan tersebut.
Jawaban Uhaib
Uhaib justru berterima kasih kepada tim kuasa hukum BirinMu yang telah melayangkan somasi kepadanya.
“Isi somasi itu sudah saya baca. Saya sudah pahami apa yang tersurat maupun tersirat,” katanya.
Uhaib bilang sebagai seorang akademisi tentu apa yang disampaikannya sudah melewati berbagai pengamatan hingga riset.
Semua argumentasinya di media massa yang jadi keberatan oleh tim hukum BirinMu menurutnya memiliki dasar teoritik dan empiris.
“Semua yang saya sampaikan bukan hanya hasil riset sebelum PSU. Saya ini adalah seorang peneliti di bidang dinamika politik lokal. Semua sudah saya teliti sejak 2013 dan beberapa tulisan saya sudah dipersentasikan di 28 negara,” katanya.
“Saya tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Apa yang saya sampaikan bukan statemen omong kosong. Sebagai akademisi saya mempertaruhkan kredibilitas intelektual saya dan saya bertanggungjawab atas semua ucapan saya,” sambungnya.
Mestinya jika dilihat dari perspektif hukum, kata Uhaib, jika tim BirinMu keberatan dengan pernyataannya di media massa silakan berkonsultasi dulu dengan redaksi media tersebut.
“Saya ini hanya narasumber. Harusnya yang membuat berita yang klarifikasi dan konfirmasi terlebih dahulu,” katanya.
Terlepas itu, Uhaib merasa apa yang disampaikannya sudah berdasar fakta-fakta selama Pilgub Kalsel 9 Desember 2020 hingga PSU, 9 Juni 2021 lalu.
“Jika mereka bertanya soal bukti, kemudian mempermasalahkan statemen saya yang terkesan berasumsi, loh saya kan bukan hakim atau jaksa yang harus membuktikan itu,” katanya.
Akan tetapi, kata Uhaib, sebagai orang yang meneliti, dirinya tentu memahami subjektifitas atau pikiran masyarakat yang ada di wilayah yang jadi zona PSU.
“Saya kan roadshow di wilayah PSU. Saya juga sudah mewawancara. Bahkan sampai hari ini saya masih melanjutkan penelitian saya yang berjudul Local Elections Money Politics and The Raise of The Local Oligarchy: Empirical Evidence From South Kalimantan Province In the Dynamics of Local Politics,” katanya.
Lebih jauh, jika tim BirinMu menyoal tudingan yang dilakukan dirinya atau meminta bukti atas statemen dirinya, Uhaib menjawab, PSU sudah menjadi alasan dasar tersebut.
“Ngapain ada PSU? Artinya, pada Pilkada 9 Desember 2020 lalu, ada malpraktik yang dibatalkan MK, makanya ada PSU. Gak usahlah mencari-cari fakta atau menuduh saya bicara tidak berlandaskan bukti. PSU itu sudah menjadi fakta tersendiri bahwa di Kalsel telah terjadi malpraktik demokrasi,” katanya.
Uhaib menyilakan masyarakat untuk bertanya dan membuktikan sendiri apakah memang ada praktik jual-beli suara di wilayah PSU yang diduga dilakukan oleh tim BirinMu.
“Silahkan tanya sendiri kepada warga di wilayah PSU. Memang ada yang bagi-bagi duit. Termasuk keluarga saya sendiri turut mendapatkannya,” katanya.
“Tidak usah saling telanjang-menelanjangi. Kita sudah sama-sama tahu saja.”
Lantas, kata Uhaib, kenapa Denny Indrayana juga sampai susah-susah pergi ke Jakarta untuk kembali menggugat MK.
“Mestinya kalau mau menyomasi, somasi juga Denny dan timnya. Sebab buah pikiran saya ini kan hanya respons terhadap temuan malpraktik demokrasi oleh tim H2D,” katanya.
Terlepas itu, Uhaib juga menyayangkan jika saat ini kebanyakan akademisi malah takut untuk menyuarakan kebenaran.
Somasi kepada dirinya, kata Uhaib, merupakan bentuk pelecehan terhadap dunia akademik.
Sebab, sebagai seorang akademik, dirinya memiliki mimbar untuk bersuara. Semua diatur di undang-undang.
“Ini sebuah pendegradasian intelektual. Jangan mentransformasi pola-pola pemerintahan orde baru di era demokrasi seperti sekarang ini” katanya.
Tim BirinMu juga menyebut statment Uhaib merugikan masyarakat. Lantas dia bertanya, masyarakat mana yang dirugikan?
“Jangan-jangan tim BirinMu yang memprovokasi masyarakat. Memang masyarakat mana yang rugi? Lalu apakah pasangan BirinMu rugi? Nyatanya suaranya meningkat pesat dan menang di PSU,” katanya.
“Jangan bawa-bawa masyarakat,” tambahnya.
Sekali lagi, Uhaib menekankan, pernyataannya di media publik merupakan buah dari hasil penelitiannya tentang landscape politik di Kalsel.
“Saya tidak mengatakan bahwa PSU tidak berhasil atau tidak bagus. Namun hanya praktik demokrasi kita masih didominasi money-politics. Ini sudah rahasia umum,” katanya.
“Bukan soal PSU yang tidak sukses. Hanya saja masih ada masyarakat yang berpikiran pragmatis. Ini masih ada loh ya, bukan semua masyarakat,” imbuhnya.
Namun yang jadi soal, kata dia, apakah benar PSU steril dari praktik money-politics, “Saya katakan tidak,” katanya.
Sekali lagi, Uhaib menegaskan, pernyataannya merupakan buah pikiran dari hasil temuan, jika masih terjadi praktik jual-beli suara.
“Seandainya pada Pilkada 9 Desember 2020 maupun PSU 9 Juni 2021 lalu tidak ada malpraktik demokrasi, kecurangan, bahkan delivery of money, maka saya yakin, tim H2D juga tidak akan menggugat ke MK,” katanya.
“Yang diperjuangkan tim H2D bukan kalah atau menang. Dalam kontestasi politik itu hal biasa. Tapi yang diperjuangkan adalah politik yang masuk akal, demokrasi yang bermartabat. Saya yakin jika tidak ada kecurangan Denny tidak bakal susah payah ke MK. Ini bukan soal libido kekuasaan,” lanjutnya.
Terakhir, Uhaib menegaskan, statmennya di media publik juga bukan hasil dari kedekatan hubungannya dengan Denny.
“Saya tekan bukan karena itu. Karena memang ada something wrong, ada yang salah dalam praktik Pilkada ini,” pungkas Uhaib.
Foto: Blog Justisia