KBK.NEWS JAKARTA – Para tokoh hukum dan politik Indonesia diskusikan wajah hukum Indonesia dalam 100 hari Pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka, Jumat (7/2/2025).
Menjelang 100 hari pemerintahan Presiden Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming muncul berbagai catatan yang datang dari para tokoh hukum dan politik di Indonesia. Catatan ini mengemuka dalam diskusi publik yang diselenggarakan Indrayana Centre for Government Constitution and Society (INTEGRITY) Law Firm, di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam diskusi bertajuk Wajah Hukum Pemerintahan Baru: Refleksi dan Asa Penegakan Hukum, Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Assiddiqie hadir menjadi pembicara kunci. Ia menyampaikan urgensi rule of law dalam penyelenggaraan pemerintahan, bukan rule of man di mana pemerintahan dijalankan atas perintah atasan bukan oleh aturan.
“Hukum tidak boleh menjadi alat kekuasaan dan politik serta tidak boleh menjadi panglima. Praktik-praktik demikian terlihat dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang memberikan ruang bagi DPR untuk melakukan recall terhadap yang dipilih DPR. Padahal checks and balances ada UU yang mengaturnya dan tidak dapat dilakukan dengan menabrak Undang-Undang,” tegas Jimly yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.
Senior Partner INTEGRITY Denny Indrayana menaruh asa kepada Presiden Prabowo agar benar-benar menjadi dirinya sendiri, terlepas dari pengaruh Joko Widodo yang di masa pemerintahannya konstitusi telah dirusak dan kasus korupsi dijadikan alat bargaining kekuasaan. Prabowo harus menjadi Presiden yang “walk the talk bukan talk the talk”, artinya kinerjanya yang berbicara, bukan hanya retorika.
“Presiden Prabowo harus tegas dan berperang dengan mafia dan koruptor. Caranya dengan memperkuat dan mendayagunakan KPK, hingga pemilihan anggota Kabinet, Kapolri, dan Jaksa Agung yang berintegritas tak terbeli serta berkapasitas mumpuni,” ujar Denny Indrayana, yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara ini.
Selanjutnya Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini membaca fenomena pelemahan demokrasi melalui pelemahan dan politisasi lembaga peradilan. Titi mencontohkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90 yang menghapuskan syarat ambang batas pencalonan Presiden.
“Putusan ini patut dipertanyakan karena MK baru mengubah pendirian soal presidential threshold setelah 30 kali pengujian. Yang menjadi pertanyaan, apakah MK mengubah pendiriannya karena murni judicial activism ataukah karena perubahan konstelasi politik,” ujar perempuan yang juga pengajar Fakultas Hukum UI ini.
Sementara Pengamat politik Rocky Gerung, menyoroti pengambilan keputusan dan kebijakan yang dilakukan tanpa melalui mitigasi. “Contohnya Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, yang membuat kebijakan gegabah soal distribusi gas subsidi dan Peraturan Tatib DPR yang memberikan ruang evaluasi pejabat yang telah dipilih DPR untuk dapat dibatalkan kembali. Ini kacau, karena Tata Tertib DPR dipakai untuk mengukur dan menerbitkan lembaga lain,” ujar Rocky.
Sementara Zainal Arifin Mochtar, Pakar Hukum Tata Negara UGM berharap Indonesia menjadi lebih baik di masa depan. Namun tantangannya adalah bagaimana mengkonversi asa menjadi realita. Zainal mencatat 2 hal yang membuat sulit berharap Indonesia lebih baik. Pertama, karena tidak perubahan pelakunya. Kedua, lebih banyak menuai kontroversi ketimbang prestasi.
“Wapresnya tetap orang lama cuma di-packaging aja. Menterinya juga, karena jumlah kursi 35 Kementerian menjadikan kue kekuasaan kekecilan sehingga terpaksa ditambah, tiba-tiba membuat UU yang menjadikan jumlah kementerian tidak terbatas,” tegas mantan Ketua PuKAT UGM ini.
Diskusi ditutup dengan paparan Muhamad Raziv Barokah, Senior Associate Integrity Law Firm yang mengajak generasi muda untuk menjalankan kontrol sosial melalui jalur aktivisme hukum, sosial dan aktivisme digital. “Sebagai contoh misalnya aktivisme hukum dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan terhadap regulasi maupun kebijakan yang melawan hukum dan keadilan,” tukas Raziv.
Sebagai informasi, Integrity Constitutional Discussion #15 ini diselenggarakan dalam rangka ulang tahun INTEGRITY KE-10 dan sekaligus rangkaian INTEGRITY SCHOLARSHIP IV yang dilakukan melalui metode seleksi penulisan karya ilmiah dan debat yang diikuti oleh mahasiwa fakultas hukum seluruh Indonesia.