KBK.NEWS JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Kumhamimipas) Yusril Ihza Mahendra memperingatkan adanya potensi pelanggaran konstitusi jika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan lokal diterapkan.

Menurut Yusril, implementasi putusan MK tersebut akan menciptakan jeda waktu sekitar 2 hingga 2,5 tahun antara pemilu nasional dengan pemilu lokal. Jeda waktu ini, lanjutnya, akan mengubah makna pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang seharusnya dilakukan setiap lima tahun sekali, bertentangan dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

“Kalau kita baca Pasal 22E UUD 45 kan tegas dikatakan pemilu dilaksanakan sekali 5 tahun, enggak bisa ada tafsir lain itu, dan pemilu itu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden, dan wakil presiden,” kata Yusril saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

BACA JUGA :  Laksanakan Putusan MK Masa Jabatan DPRD Bertambah Dua Tahun
Ketua Komisi II DPR RI, Dr. H.M. Rifqinizamy Karsayuda. (Foto : Rizal)

Senada dengan Yusril, Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda juga mempertanyakan putusan MK tersebut. Ia berpendapat bahwa MK telah melampaui norma kewenangannya sebagai badan negative legislature, yang seharusnya hanya memutuskan konstitusionalitas suatu aturan dan mengembalikannya kepada pembuat undang-undang (DPR) untuk direvisi jika inkonstitusional.

“Nah sekarang MK itu memposisikan diri sebagai positive legislature. Jadi bukan hanya mengatakan bahwa ini inkonstitusional tapi dia bikin norma sendiri,” tegas politisi Partai Nasdem, Rifqinizamy di Jakarta, Senin (30/6/2025).

Kritik dari kedua tokoh ini menyoroti implikasi serius dari putusan MK terhadap sistem kepemiluan di Indonesia, terutama mengenai konsistensi konstitusi dan batas-batas kewenangan lembaga yudikatif.